Senin, 04 Mei 2009

STRATEGI MENEMBUS NARASUMBER

BAGIAN III

STRATEGI

MENEMBUS

NARASUMBER

Oleh: Drs. Wahyudi EL Panggabean.

16. ATAS PANGGILAN HATI

STRATEGI Menembus Narasumber, mulai populer sebagai salah satu kajian dalam pelatihan-pelatihan jurnalistik di Riau, setelah terbitnya buku: Strategi Menembus Narasumber Mengatasi Konflik (Penerbit Buku FORUM, 2005).

Ternyata, buku jurnalistik pertama yang saya tulis tersebut, mendapat sambutan masyarakat, khususnya para wartawan dan kalangan yang menaruh minat dengan dunia jurnalistik. Kini, buku yang berisikan pengalaman empiris itu memasuki cetakan kedua.

Tahun 2007, buku tersebut menjadi salah satu buku pegangan di Lembaga Pendidikan Wartawan, Pekanbaru Journalist Center (PJC) pada mata kuliah Strategi Menembus Narasumber. Sebuah pelajaran khusus yang diajarkan tentang metode dan kiat menghadapi, menemui dan berkomunikasi dengan narasumber. Pelajaran ini juga untuk memotivasi dan menggugah keberanian para siswa yang kelak, bekerja sebagai wartawan.

Adapun pengertian kata – per - kata istilah Strategi Menembus Narasumber adalah: “Strategi” yakni metode atau cara yang dilakukan seorang wartawan. Sedangkan yang dimaksud dengan “menembus” adalah agar berhasil menemui, mewawancarai atau meminta konfirmasi. Dan, “narasumber” yakni orang yang ditemui, diwawancarai atau diminta konfirmasi tersebut. Jadi, lebih lengkapnya Strategi Menembus Narasumber adalah :

Metode atau cara yang ditempuh seorang wartawan agar bisa berhasil menemui, mewawancarai atau meminta konfirmasi dengan seorang narasumber.

Semula, ilmu ini, tidak dilihat sebagai kajian khusus yang harus berdiri sendiri. Namun ternyata, dalam perkembangan ilmu jurnalistik, ilmu ini perlu mendapat kajian dan pembelajaran khusus. Karena sangat berperan dalam tugas-tugas jurnalistik, mengingat wartawan sebagai pemburu informasi, umumnya berhadapan dengan narasumber, yang sering sekali, memang sulit “ditembus”.

Artinya, semua kajian yang menjadi bahasan dalam pelajaran ini adalah narasumber yang sulit “ditembus” tadi. Jika mudah ditemui, diwawancarai atau dimintai konfirmasinya, tentulah wartawan tidak perlu menerapkan strategi jitu. Katakanlah untuk meliput atau mewawancarai seorang artis Jakarta yang lagi show di Pekanbaru.

Atau hanya mewawancarai seorang siswa tentang pengalamannya mengikuti lomba cerdas cermat. Wawancara seperti ini, tidak butuh strategi. Hanya wawancara ringan, dan biasa-biasa saja. Meminta komentar dari seorang narasumber yang tidak terlibat penyelewengan, masalah, skandal, kejahatan--dan menemuinya pun tidak harus melewati birokrasi berbelit-belit--tentulah lebih gampang.

Tetapi, jika Anda seorang wartawan, yang pada pagi hari ini, sebuah tugas mewawancarai atau meminta konfirmasi seorang camat misalnya. Si Camat, berdasarkan informasi yang Anda peroleh, diduga melakukan penggelapan dana BLT (Bantuan Tunai Langsung) sekitar Rp 55 juta. Apa yang Anda lakukan agar berhasil memperoleh konfirmasinya, sementara si Camat, harus Andai temui di ruang kerjanya? Sedangkan Anda tidak kenal sebelumnya?

Sekilas, tentu tugas seperti ini, terasa berat. Padahal, berita ini, menyangkut hak-hak fakir-miskin, yang telah diselewengkan, mesti diberitakan. Beritanya harus lengkap dan berimbang. Tanpa meminta konfirmasi--meskipun Anda telah mendapatkan informasi selengkap-lengkpnya, dari sumber lain—tentu saja tidak dibenarkan. Berita sepihak merupakan pelanggaran pada kode etik. Sebab, dalam kode etik jurnalistik seorang wartawan diwajibkan menulis berita yang berimbang (Pasal 1 KEJI).

Untuk itu, sebelum lebih jauh membahasnya, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang wartawan, di antaranya adalah keutuhan tekad bekerja sebagai wartawan. Jangan pernah memasuki dunia wartawan tapa atas panggilan hati. Jika ingin menjadi wartawan yang berhasil, tekuni pekerjaan ini sepenuh hati. Inilah kunci utama yang harus dimiliki seorang wartawan. Tanpa tekad yang kuat demkian, saya yakin Anda akan menemukan kegagalan.

Tidak satupun pekerjaan di dunia ini yang mampu meraih keberhasilan dan kesuksesan, andai pekerjaan itu dikerjakan dengan setengah hati, ragu-ragu, atau hanya sebagai alternatif, karena belum berhasil memperoleh pekerjaan lain yang sesungguhnya sangat Anda inginkan. Dunia wartawan adalah dunia kreativitas yang mesti dijalani dengan keseriusan.

Ada sementara wartawan yang bertungkus lumus dengan profesinya. Bertahun-tahun, malah puluhan tahun mengemban profesi jurnalistik ini, toh, senioritasnya sudah diukur dari tenggang waktu dan taburan uban di kepala. Namun, tidak pernah meraih prestasi exellent sebagai sumbangsih kepada masyarakat, lewat berita-berita hasil karya jurnalistik yang dijalaninya. Sebuah ironi di tengah konteks jurnalisme yang kompetitif.

Kontra prestasi ini, jika dirunut ke belakang, mungkin, bersumber dari salah satu sebab: memasuki dunia wartawan bukan atas panggilan jiwa. Kita melihat, faktor keterpanggilan untuk memasuki profesi wartawan, ternyata sangat signipikan dengan keberhasilan. Di sadari atau tidak, juga sangat berpengaruh pada setiap langkah dan momen tugas yang dijalani wartawan. Terlebih saat berencana “menembus” narasumber yang memang bukan narasumber biasa-biasa saja.

Profesi wartawan, diakui atau tidak, sudah lama dirusak orang-orang yang tidak sepenuh hati ingin menjadi wartawan profesional dan memiliki integritas. Bukan diemban orang-orang yang menjadikan pilihan hidupnya sebagai seorang wartawan. Padahal,kita tidak pernah merasa terpaksa untuk melakukan pekerjaan apapun. Kita bebas memilih apa saja.

Sebagai manusia merdeka, kebebasan memilih merupakan anugerah bawaan pertama yang kita miliki.[1] Untuk itu, jika Anda merasa terpaksa menjadi wartawan, sehingga wartawan hanya sebagai salah satu alternatif--menunggu munculnya pekerjaan yang Anda cintai--segeralah tinggalkan profesi ini. Saya khawatir, sikap setengah hati, malah akan melahirkan hasil bukan setengah, tetapi seperdelapan atau gagal sama sekali.

Kesimpulannya, jika ingin menjadi wartawan berhasil, jadikan wartawan sebagai pilihan hidup, dan tekuni pekerjaan ini sepenuh hati. Strategi Menembus Narasumber berada dalam lingkup kinerja jurnalistik yang keberhasilannya ditentukan syarat utama: memasuki wartawan atas panggilan hati. Keutuhan jiwa Anda menjadi wartawan akan menghasilkan sikap keberanian.

17. Jadilah Pemberani

SEORANG wartawan seyogianya adalah seorang religius: Yang percaya segala sesuatunya sudah ditetapkan dan diatur oleh Allah swt. Sikap religius ini, tentu tidak datang dengan sendirinya, tanpa didahului keteguhan hati atas apa yang kita jalani sebagai profesi.

Jika Anda telah menentukan pilihan bekerja sebagai wartawan, menekuni profesi dengan serius, kemudian Anda memiliki sikap religius, keberanian akan muncul. Jika keberanian sudah Anda miliki, apa pun pasti bisa Anda “tembus”. Sekalipun narasumber yang berada di balik tembok tebal “persembunyian” informasi.

Perlu difahami, persoalan munculnya keberanian ini, sesungguhnya, bukan masalah sederhana. Kita menyadari, betapa banyak manusia di dunia ini, yang gagal dalam profesi dan kehidupannya, hanya karena rasa takut yang bercokol dalam jiwanya. Ketakutan, yang terkadang akarnya sangat sederna. Sumber ketakutan itu sendiri, sering masalah-masalah spele, namun mampu membuat seseorang hidup dalam kehampaan dan kesia-siaan.

Kita kembali ke bahasan sang Camat yang menggelapkan dana BLT yang kita jadikan contoh tadi. Misalkan pagi ini, Anda ditugasi mewawancarainya di ruang kerjanya, lantas apakah Anda siap? Tentu saja, Anda akan jalani jika sudah punya tekad yang kuat dan memiliki keberanian untuk itu.

Anda pasti akan merasa tertantang untuk menemuinya karena telah didorong keinginan memberitakan sebuah kasus penelewengan hak-hak fakir miskin yang dilakukan seorang pejabat negara. Adakah yang lebih mulya selain memperjuangkan hak-hak kaum dhuafa yang dirampas oleh orang-orang bermental bejat demi kepentingan diri pribadinya? Andai Anda memberitakan itu, lengkap dengan data, sumber dan konfirmasinya, bukankah itu merupakan bentuk dakwah yang sangat mulya?

Tetapi, kemulyaan tugas seperti ini, hanya bisa difahami oleh wartawan yang benar-benar memang terpanggil, bersikap religius dan menggunakan keberanian yang dianugerahkan Allah swt kepadanya untuk membela kepentingan kaum tertindas. Nah, sekarang timbul pertanyaan, jika Anda tidak terpanggil, untuk menulis beritanya, apa alasannya? Jika Anda takut, apa yang Anda takutkan? Bukankah seorang wartawan seperti dijelaskan tadi, harus seorang religius?

Pengalaman membuktikan, dengan segera mengerjakan hal-hal yang kita takutkan, ternyata dengan sendirinya mampu membuang rasa takut kita. Artinya, sekalipun Anda masih merasa takut juga, sementara Anda yakin, bahwa Anda berbuat benar, demi kepentingan yang lebih besar, untuk kemanusiaan, sesuai tugas Anda, yah lakukan saja. Sesungguhnya, mengerjakan apa yang kita takutkan, merupakan metode paling ampuh membuang rasa takut.[2]

Coba Anda bayangkan, andai dengan berita Anda tersebut, pihak penegak hukum melakukan pengusutan terhadap perilaku si Camat. Kemudian, melakukan hal serupa kepada pejabat lain, lantas uang BLT tadi terselamatkan dan berhasil dikembalikan dan digunakan kepada yang berhak, betapa besarnya peran Anda. Sedangkan pelaku diganjar hukuman setimpal sebagai penjera.

Sadarilah, betatapun peran penyelamatan hak-hak fakir itu, selanjutnya melibatkan para penegak hukum, toh Andalah yang menjadi pionier. Orang pertama yang “berjuang’ mengawali pengusutan, lewat berita yang Anda tulis. Tentu, ini hanya sebuah contoh, kasus korupsi skala recehan di tengah bentara para koruptor yang telah menghancurkan kehidupan masyarakat bangsa ini.

Jika Anda telah memahami betapa pentingnya peran berita yang akan Anda tulis, mungkin Anda akan termotivasi dan menambah keberanian Anda, untuk segera melakukan tugas wawancara itu. Faham akan apa yang Anda kerjakan, juga turut menimbulkan keberanian. Sepanjang Anda hanya berniat baik, semata-mata agar berita itu menjadi konsumsi khalayak pembaca. Bukan menemui Camat, mewawancarainya lantas, karena kekakutan, si Camat akan memberikan sejumlah uang dalam amplop, untuk menyuap Anda.

Jika itu yang terbayang di benak Anda, yakinlah, karagu-raguan akan mengusik. Keraguan bentuk lain dari ketakutan. Mungkin saja Anda masih tetap pergi, tetapi keberanian sudah mulai hilang. Akibatnya, sedikti saja rintangan yang datang, Anda akan mundur, dan menjadikan itu alasan kenapa Anda tak berhasil menemui dan “menembus” nara sumber Anda. Anda akan gagal.

Keberanian hanya dimiliki wartawan yang semata-mata punya niat baik dalam melakukan tugas jurnalistiknya. Sekitar seperempat abad menjadi wartawan, ratusan bahkan ribuan pengalaman seperti ini dihadapkan kepada saya. Jika saya telah faham masalah, saya punya ittikad baik, kelihatannya tidak ada kendala yang tidak bisa diatasi.

Meski selalu berhadapan dengan tembok-tembok tebal perintang informasi, tempat para narasumber berlindung dengan informasi yang harus kita rebut dari genggamannya, ternyata bisa berhasil mengubahnya menjadi informasi dalam bentuk berita yang sangat bermanfaat bagi publik, setelah berhasil “menembus” narasumbernya yang sulit.

Tugas wartawan adalah tugas terhormat dan mulya. Menembus narasumber salah satu tugas penting yang menentukan apakah seorang wartawan: lahir sebagai pememang atau hanya menjadi pecundang. Miliki strateginya. Jadilah seorang wartawan religius!

tekuni pekerjaan ini sepenuh hati.

18. Prima & Santun

BERKOMUNIKASI dengan orang lain, tidak hanya dilakukan dengan bahasa. Sesungguhnya, penampilan kitalah yang lebih dulu memberi pesan dan kesan serta aspek yang bisa dinilai orang lain. Mulai dari tempramen, cara berpakaian, gerak-gerik sampai ke gaya kita.

Tidak mengherankan, dalam tugas “menembus” narasumber hal kasat mata demikian merupakan penentu awal: berhasil/tidaknya kita mendapat penilaian posistif di mata orang yang kita temui. Penampilan prima, rapi dan necis, termasuk faktor penentu.

Seorang wartawan berpenampilan prima yang ingin melakukan tugas, wawancara, meminta konfirmasi atau menemui seorang narasumber, hampir bisa dipastikan akan mendapat sambutan hangat dari narasumber. Sebailknya, penampilan acak-acakan, katakanlah rambut gondrong, terlebih tidak disisir rapi, kemudian berpakaian lusuh, kemungkinan besar akan “ditolak” narasumber. Bejilbab dan menutup aurat bagi wanita, juga lebih menjamin. “Dari cara seseorang berpakaian, bukan saja merupakan bagian komunikasi, juga bisa mendidik orang lain,” ujar Meutia Hatta.[3]

Banyak kasus-kasus penolakan, “kecurigaan” dan upaya mempersulit wartawan dalam bertugas bersumber dari penampilan wartawan yang kurang meyakinkan. Pengalaman-pengalaman penolakan ini, biasanya dihadapi wartawan di instansi-instansi pemerintah maupun instansi swasta. Para sekretaris, ajudan dan staf yang bertanggungjawab mengatur tata bertamu bagi atasannya, sangat memperhatikan penampilan para tamu yang akan diloloskan ke ruangan bos, yang umumnya tertata eksklusif.

Penolakan, jika terjadi, ternyata bisa berbuntut panjang. Wartawan yang merasa punya hak dan kewenangan sebagai pemangku profesi pemburu informasi yang dilindungi undang-undang merasa profesinya tidak dihargai. Sedangkan pihak-pihak yang “:menolak” kehadiran wartawan, menenggang rasa, dan tidak mau berterus terang, bahwa penolakan itu, karena kurang sreg dengan penampilan si Wartawan. Ini, yang sering terjadi.

Apa pun dalihnya, masalah-masalah penolakan terhadap wartawan memang boleh diperdebatkan. Namun, inti persoalan tetap saja, berawal dari penampilan yang tidak prima tadi. Bahwa kemudian, wartawan bisa menempuh upaya macam-macam, setelah bersitegang atas penolakan itu, lain soal. Toh, saat penolakan itu terjadi, si Wartawan telah gagal menjalankan tugasnya: “menembus” narasumber.

Kesimpulannya, penampilan seorang wartawan sangat menentukan, apakah dia berhasil “menembus” narasumbernya atau tidak. Untuk itu, berpenampilan prima, dan juga mampu mengadaptasikan penampilan dengan tipe narasumber menjadi suatu keharusan. Artinya, tentu saja,seorang wartawan tidak dituntut necis dan rapi, jika ingin mewawancarai seorang petani di tengah sawahnya.

Kelembutan dan santun.

Rasanya, jarang orang yang tidak peka dan senang dengan kelembutan. Bagi seorang wartawan, berbicara lembut dan santun, tampaknya suatu keharusan. Malah, menjadi modal utama setelah penampilannya yang meyakinkan. Dua modal ini, saya kira merupakan alat pendobrak yang paling tangguh bagi benteng tebal “penembus” narasumber.

Harus diakui, ada banyak pihak atau orang yang ditemui wartawan, langsung risih, begitu dia tahu yang mendatanginya seorang wartawan. Soal apa penyebabnya, agaknya beragam pula. Dalam situasi orang tidak senang dengan kita, senjata ampuh untuk nenaklukkannya adalah kelembutan dan bicara yang santun. “Hanya yang lembut mampu menerobos yang keras,” ujar penulis legendaris, Asmaraman S Kho Ping Ho, Petualang Asmara (1980).

Pada kasus ini, tidak jarang pula, kegagalan komunikasi antara wartawan dan narasumber berujung pada persoalan baru. Tetapi, realita ini layak dimaklumi, sebenarnya. Bayangkan, saat orang yang kurang sreg dengan kita bebicara kurang sopan, tentu kita akan sedikit emosi. Tetapi, dalam tugas “menembus” narasumber kita wajib memainkan strtegi: lawan dengan kelembutan.`

Kita kembali ke contoh ingin menemi si Camat itu. Jika wartawan ingin meminta konfirmasi di ruangannya, tentu harus lebih dulu meyakinkan ajudannya. Si Ajudan, punya peran yang sangat menentukan apakah Anda berhasil menemui si Camat di ruang kerjanya. Tanpa ijin si Ajudan jangan harapa bisa bertemu si Camat.

Pertanyaannya, bagaimana meyakinkan ajudan yang baru saat itu, Anda kenal? Tidak ada cara paling ampuh memengaruhi seseorang, tanpa lebih dulu memberi dia rasa simpati. Penampilan Anda adalah objek utama yang membuat dia simpati dan yakin. Jika dia sudah senang dengan penampilan Anda, didukung cara bicara yang lembut dan sopan, sudah cukup menjadi modal bagi Anda untuk mendapat “restu” ajudan.

Saya punya banyak pengalaman tentang hal-hal seperti ini. Penampilan, cara bicara sangat menentukan keberhasilan tugas saya sebagai wartawan saat meminta konfirmasi, melakukan wawancara dan sebagainya. Memang hal ini tidak selamanya ampuh, bila unsur ketakutan sudah mendominasi keadaan.

Mungkin saja Si narasumber takut, akan terbongkar kejahatannya. Misalnya, si Ajudan akan segera masuk ke ruangan bosnya, begitu saya menyebut ingin ketemu. Tiba-tiba, dia keluar dari ruangan bos dan segera memberi tahu saya bahwa bosnya tidak ada waktu buat saya. “Bapak Camat tidak ada waktu untuk wartawan Pak,” katanya berbasa-basi.

Dalam kondisi begini, kita masih punya strategi lain, yang mungkin lebih jitu, karena kita telah memberi si Ajudan dua keuntungan: penampilan prima dan bicara yang santun. Biasanya, saya akan mencoba meyakinkan si Ajudan bahwa saya hanya punya kepentingan sebentar saja, untuk sekadar meminta konfirmasi: “Tidak lebih 5 menit. Jika lebih lima menit, Anda bisa usir saya dari ruangan bos Anda,” begitu saya katakan jika masih belum diberi kesempatan.

Jika dia tak juga mau, yah, saya akan menunggu si Camat keluar ruangan dan saya cegat. Tetapi, seorang pejabat di Pekanbaru pernah memperlakukan saya kurang baik. Yang membuat saya akhirnya mengancam: “Begini, Pak, karena ini kepentingan bos Bapak, apapun cara akan saya tempuh untuk ketemu dia. Jika dia misalnya jam sepuluh malam baru keluar ruangannya, saya tunggu. Saya tidak mau menulis berita sepihak,” ancaman demikian saya rasa, menggetarkan jiwa semua ajudan.

Saya kemudian berhasil melakukan wawancara di ruang kerja si Pejabat. (Baca Buku: Strategi Menembus Narasumber Mengatasi Konflik, 2005) Tetapi, hal yang perlu dimaklumi adalah, saya berani mengancam karena telah memiliki modal utama: penampilan prima, lemah lembut dan santun. Inilah strategi jitu “menembus” narasumber.



[1] Stephen R. Covey, The 8th HABIT, Gramedia, Jakarta, 2005, hal.60

[2] Norman Vincent Peale, Anda pasti Bila Anda Pikir Bisa, Professional Books, Jakarta 1997. hal.205

[3] Wawancara Kompas dengan Meutia Hatta, yang dikutip SKM Genta, Pekanbaru, 1991

STRATEGI MENEMBUS NARASUMBER

BAGIAN III

STRATEGI

MENEMBUS

NARASUMBER

Oleh: Drs. Wahyudi EL Panggabean.

16. ATAS PANGGILAN HATI

STRATEGI Menembus Narasumber, mulai populer sebagai salah satu kajian dalam pelatihan-pelatihan jurnalistik di Riau, setelah terbitnya buku: Strategi Menembus Narasumber Mengatasi Konflik (Penerbit Buku FORUM, 2005).

Ternyata, buku jurnalistik pertama yang saya tulis tersebut, mendapat sambutan masyarakat, khususnya para wartawan dan kalangan yang menaruh minat dengan dunia jurnalistik. Kini, buku yang berisikan pengalaman empiris itu memasuki cetakan kedua.

Tahun 2007, buku tersebut menjadi salah satu buku pegangan di Lembaga Pendidikan Wartawan, Pekanbaru Journalist Center (PJC) pada mata kuliah Strategi Menembus Narasumber. Sebuah pelajaran khusus yang diajarkan tentang metode dan kiat menghadapi, menemui dan berkomunikasi dengan narasumber. Pelajaran ini juga untuk memotivasi dan menggugah keberanian para siswa yang kelak, bekerja sebagai wartawan.

Adapun pengertian kata – per - kata istilah Strategi Menembus Narasumber adalah: “Strategi” yakni metode atau cara yang dilakukan seorang wartawan. Sedangkan yang dimaksud dengan “menembus” adalah agar berhasil menemui, mewawancarai atau meminta konfirmasi. Dan, “narasumber” yakni orang yang ditemui, diwawancarai atau diminta konfirmasi tersebut. Jadi, lebih lengkapnya Strategi Menembus Narasumber adalah :

Metode atau cara yang ditempuh seorang wartawan agar bisa berhasil menemui, mewawancarai atau meminta konfirmasi dengan seorang narasumber.

Semula, ilmu ini, tidak dilihat sebagai kajian khusus yang harus berdiri sendiri. Namun ternyata, dalam perkembangan ilmu jurnalistik, ilmu ini perlu mendapat kajian dan pembelajaran khusus. Karena sangat berperan dalam tugas-tugas jurnalistik, mengingat wartawan sebagai pemburu informasi, umumnya berhadapan dengan narasumber, yang sering sekali, memang sulit “ditembus”.

Artinya, semua kajian yang menjadi bahasan dalam pelajaran ini adalah narasumber yang sulit “ditembus” tadi. Jika mudah ditemui, diwawancarai atau dimintai konfirmasinya, tentulah wartawan tidak perlu menerapkan strategi jitu. Katakanlah untuk meliput atau mewawancarai seorang artis Jakarta yang lagi show di Pekanbaru.

Atau hanya mewawancarai seorang siswa tentang pengalamannya mengikuti lomba cerdas cermat. Wawancara seperti ini, tidak butuh strategi. Hanya wawancara ringan, dan biasa-biasa saja. Meminta komentar dari seorang narasumber yang tidak terlibat penyelewengan, masalah, skandal, kejahatan--dan menemuinya pun tidak harus melewati birokrasi berbelit-belit--tentulah lebih gampang.

Tetapi, jika Anda seorang wartawan, yang pada pagi hari ini, sebuah tugas mewawancarai atau meminta konfirmasi seorang camat misalnya. Si Camat, berdasarkan informasi yang Anda peroleh, diduga melakukan penggelapan dana BLT (Bantuan Tunai Langsung) sekitar Rp 55 juta. Apa yang Anda lakukan agar berhasil memperoleh konfirmasinya, sementara si Camat, harus Andai temui di ruang kerjanya? Sedangkan Anda tidak kenal sebelumnya?

Sekilas, tentu tugas seperti ini, terasa berat. Padahal, berita ini, menyangkut hak-hak fakir-miskin, yang telah diselewengkan, mesti diberitakan. Beritanya harus lengkap dan berimbang. Tanpa meminta konfirmasi--meskipun Anda telah mendapatkan informasi selengkap-lengkpnya, dari sumber lain—tentu saja tidak dibenarkan. Berita sepihak merupakan pelanggaran pada kode etik. Sebab, dalam kode etik jurnalistik seorang wartawan diwajibkan menulis berita yang berimbang (Pasal 1 KEJI).

Untuk itu, sebelum lebih jauh membahasnya, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang wartawan, di antaranya adalah keutuhan tekad bekerja sebagai wartawan. Jangan pernah memasuki dunia wartawan tapa atas panggilan hati. Jika ingin menjadi wartawan yang berhasil, tekuni pekerjaan ini sepenuh hati. Inilah kunci utama yang harus dimiliki seorang wartawan. Tanpa tekad yang kuat demkian, saya yakin Anda akan menemukan kegagalan.

Tidak satupun pekerjaan di dunia ini yang mampu meraih keberhasilan dan kesuksesan, andai pekerjaan itu dikerjakan dengan setengah hati, ragu-ragu, atau hanya sebagai alternatif, karena belum berhasil memperoleh pekerjaan lain yang sesungguhnya sangat Anda inginkan. Dunia wartawan adalah dunia kreativitas yang mesti dijalani dengan keseriusan.

Ada sementara wartawan yang bertungkus lumus dengan profesinya. Bertahun-tahun, malah puluhan tahun mengemban profesi jurnalistik ini, toh, senioritasnya sudah diukur dari tenggang waktu dan taburan uban di kepala. Namun, tidak pernah meraih prestasi exellent sebagai sumbangsih kepada masyarakat, lewat berita-berita hasil karya jurnalistik yang dijalaninya. Sebuah ironi di tengah konteks jurnalisme yang kompetitif.

Kontra prestasi ini, jika dirunut ke belakang, mungkin, bersumber dari salah satu sebab: memasuki dunia wartawan bukan atas panggilan jiwa. Kita melihat, faktor keterpanggilan untuk memasuki profesi wartawan, ternyata sangat signipikan dengan keberhasilan. Di sadari atau tidak, juga sangat berpengaruh pada setiap langkah dan momen tugas yang dijalani wartawan. Terlebih saat berencana “menembus” narasumber yang memang bukan narasumber biasa-biasa saja.

Profesi wartawan, diakui atau tidak, sudah lama dirusak orang-orang yang tidak sepenuh hati ingin menjadi wartawan profesional dan memiliki integritas. Bukan diemban orang-orang yang menjadikan pilihan hidupnya sebagai seorang wartawan. Padahal,kita tidak pernah merasa terpaksa untuk melakukan pekerjaan apapun. Kita bebas memilih apa saja.

Sebagai manusia merdeka, kebebasan memilih merupakan anugerah bawaan pertama yang kita miliki.[1] Untuk itu, jika Anda merasa terpaksa menjadi wartawan, sehingga wartawan hanya sebagai salah satu alternatif--menunggu munculnya pekerjaan yang Anda cintai--segeralah tinggalkan profesi ini. Saya khawatir, sikap setengah hati, malah akan melahirkan hasil bukan setengah, tetapi seperdelapan atau gagal sama sekali.

Kesimpulannya, jika ingin menjadi wartawan berhasil, jadikan wartawan sebagai pilihan hidup, dan tekuni pekerjaan ini sepenuh hati. Strategi Menembus Narasumber berada dalam lingkup kinerja jurnalistik yang keberhasilannya ditentukan syarat utama: memasuki wartawan atas panggilan hati. Keutuhan jiwa Anda menjadi wartawan akan menghasilkan sikap keberanian.

17. Jadilah Pemberani

SEORANG wartawan seyogianya adalah seorang religius: Yang percaya segala sesuatunya sudah ditetapkan dan diatur oleh Allah swt. Sikap religius ini, tentu tidak datang dengan sendirinya, tanpa didahului keteguhan hati atas apa yang kita jalani sebagai profesi.

Jika Anda telah menentukan pilihan bekerja sebagai wartawan, menekuni profesi dengan serius, kemudian Anda memiliki sikap religius, keberanian akan muncul. Jika keberanian sudah Anda miliki, apa pun pasti bisa Anda “tembus”. Sekalipun narasumber yang berada di balik tembok tebal “persembunyian” informasi.

Perlu difahami, persoalan munculnya keberanian ini, sesungguhnya, bukan masalah sederhana. Kita menyadari, betapa banyak manusia di dunia ini, yang gagal dalam profesi dan kehidupannya, hanya karena rasa takut yang bercokol dalam jiwanya. Ketakutan, yang terkadang akarnya sangat sederna. Sumber ketakutan itu sendiri, sering masalah-masalah spele, namun mampu membuat seseorang hidup dalam kehampaan dan kesia-siaan.

Kita kembali ke bahasan sang Camat yang menggelapkan dana BLT yang kita jadikan contoh tadi. Misalkan pagi ini, Anda ditugasi mewawancarainya di ruang kerjanya, lantas apakah Anda siap? Tentu saja, Anda akan jalani jika sudah punya tekad yang kuat dan memiliki keberanian untuk itu.

Anda pasti akan merasa tertantang untuk menemuinya karena telah didorong keinginan memberitakan sebuah kasus penelewengan hak-hak fakir miskin yang dilakukan seorang pejabat negara. Adakah yang lebih mulya selain memperjuangkan hak-hak kaum dhuafa yang dirampas oleh orang-orang bermental bejat demi kepentingan diri pribadinya? Andai Anda memberitakan itu, lengkap dengan data, sumber dan konfirmasinya, bukankah itu merupakan bentuk dakwah yang sangat mulya?

Tetapi, kemulyaan tugas seperti ini, hanya bisa difahami oleh wartawan yang benar-benar memang terpanggil, bersikap religius dan menggunakan keberanian yang dianugerahkan Allah swt kepadanya untuk membela kepentingan kaum tertindas. Nah, sekarang timbul pertanyaan, jika Anda tidak terpanggil, untuk menulis beritanya, apa alasannya? Jika Anda takut, apa yang Anda takutkan? Bukankah seorang wartawan seperti dijelaskan tadi, harus seorang religius?

Pengalaman membuktikan, dengan segera mengerjakan hal-hal yang kita takutkan, ternyata dengan sendirinya mampu membuang rasa takut kita. Artinya, sekalipun Anda masih merasa takut juga, sementara Anda yakin, bahwa Anda berbuat benar, demi kepentingan yang lebih besar, untuk kemanusiaan, sesuai tugas Anda, yah lakukan saja. Sesungguhnya, mengerjakan apa yang kita takutkan, merupakan metode paling ampuh membuang rasa takut.[2]

Coba Anda bayangkan, andai dengan berita Anda tersebut, pihak penegak hukum melakukan pengusutan terhadap perilaku si Camat. Kemudian, melakukan hal serupa kepada pejabat lain, lantas uang BLT tadi terselamatkan dan berhasil dikembalikan dan digunakan kepada yang berhak, betapa besarnya peran Anda. Sedangkan pelaku diganjar hukuman setimpal sebagai penjera.

Sadarilah, betatapun peran penyelamatan hak-hak fakir itu, selanjutnya melibatkan para penegak hukum, toh Andalah yang menjadi pionier. Orang pertama yang “berjuang’ mengawali pengusutan, lewat berita yang Anda tulis. Tentu, ini hanya sebuah contoh, kasus korupsi skala recehan di tengah bentara para koruptor yang telah menghancurkan kehidupan masyarakat bangsa ini.

Jika Anda telah memahami betapa pentingnya peran berita yang akan Anda tulis, mungkin Anda akan termotivasi dan menambah keberanian Anda, untuk segera melakukan tugas wawancara itu. Faham akan apa yang Anda kerjakan, juga turut menimbulkan keberanian. Sepanjang Anda hanya berniat baik, semata-mata agar berita itu menjadi konsumsi khalayak pembaca. Bukan menemui Camat, mewawancarainya lantas, karena kekakutan, si Camat akan memberikan sejumlah uang dalam amplop, untuk menyuap Anda.

Jika itu yang terbayang di benak Anda, yakinlah, karagu-raguan akan mengusik. Keraguan bentuk lain dari ketakutan. Mungkin saja Anda masih tetap pergi, tetapi keberanian sudah mulai hilang. Akibatnya, sedikti saja rintangan yang datang, Anda akan mundur, dan menjadikan itu alasan kenapa Anda tak berhasil menemui dan “menembus” nara sumber Anda. Anda akan gagal.

Keberanian hanya dimiliki wartawan yang semata-mata punya niat baik dalam melakukan tugas jurnalistiknya. Sekitar seperempat abad menjadi wartawan, ratusan bahkan ribuan pengalaman seperti ini dihadapkan kepada saya. Jika saya telah faham masalah, saya punya ittikad baik, kelihatannya tidak ada kendala yang tidak bisa diatasi.

Meski selalu berhadapan dengan tembok-tembok tebal perintang informasi, tempat para narasumber berlindung dengan informasi yang harus kita rebut dari genggamannya, ternyata bisa berhasil mengubahnya menjadi informasi dalam bentuk berita yang sangat bermanfaat bagi publik, setelah berhasil “menembus” narasumbernya yang sulit.

Tugas wartawan adalah tugas terhormat dan mulya. Menembus narasumber salah satu tugas penting yang menentukan apakah seorang wartawan: lahir sebagai pememang atau hanya menjadi pecundang. Miliki strateginya. Jadilah seorang wartawan religius!

tekuni pekerjaan ini sepenuh hati.

18. Prima & Santun

BERKOMUNIKASI dengan orang lain, tidak hanya dilakukan dengan bahasa. Sesungguhnya, penampilan kitalah yang lebih dulu memberi pesan dan kesan serta aspek yang bisa dinilai orang lain. Mulai dari tempramen, cara berpakaian, gerak-gerik sampai ke gaya kita.

Tidak mengherankan, dalam tugas “menembus” narasumber hal kasat mata demikian merupakan penentu awal: berhasil/tidaknya kita mendapat penilaian posistif di mata orang yang kita temui. Penampilan prima, rapi dan necis, termasuk faktor penentu.

Seorang wartawan berpenampilan prima yang ingin melakukan tugas, wawancara, meminta konfirmasi atau menemui seorang narasumber, hampir bisa dipastikan akan mendapat sambutan hangat dari narasumber. Sebailknya, penampilan acak-acakan, katakanlah rambut gondrong, terlebih tidak disisir rapi, kemudian berpakaian lusuh, kemungkinan besar akan “ditolak” narasumber. Bejilbab dan menutup aurat bagi wanita, juga lebih menjamin. “Dari cara seseorang berpakaian, bukan saja merupakan bagian komunikasi, juga bisa mendidik orang lain,” ujar Meutia Hatta.[3]

Banyak kasus-kasus penolakan, “kecurigaan” dan upaya mempersulit wartawan dalam bertugas bersumber dari penampilan wartawan yang kurang meyakinkan. Pengalaman-pengalaman penolakan ini, biasanya dihadapi wartawan di instansi-instansi pemerintah maupun instansi swasta. Para sekretaris, ajudan dan staf yang bertanggungjawab mengatur tata bertamu bagi atasannya, sangat memperhatikan penampilan para tamu yang akan diloloskan ke ruangan bos, yang umumnya tertata eksklusif.

Penolakan, jika terjadi, ternyata bisa berbuntut panjang. Wartawan yang merasa punya hak dan kewenangan sebagai pemangku profesi pemburu informasi yang dilindungi undang-undang merasa profesinya tidak dihargai. Sedangkan pihak-pihak yang “:menolak” kehadiran wartawan, menenggang rasa, dan tidak mau berterus terang, bahwa penolakan itu, karena kurang sreg dengan penampilan si Wartawan. Ini, yang sering terjadi.

Apa pun dalihnya, masalah-masalah penolakan terhadap wartawan memang boleh diperdebatkan. Namun, inti persoalan tetap saja, berawal dari penampilan yang tidak prima tadi. Bahwa kemudian, wartawan bisa menempuh upaya macam-macam, setelah bersitegang atas penolakan itu, lain soal. Toh, saat penolakan itu terjadi, si Wartawan telah gagal menjalankan tugasnya: “menembus” narasumber.

Kesimpulannya, penampilan seorang wartawan sangat menentukan, apakah dia berhasil “menembus” narasumbernya atau tidak. Untuk itu, berpenampilan prima, dan juga mampu mengadaptasikan penampilan dengan tipe narasumber menjadi suatu keharusan. Artinya, tentu saja,seorang wartawan tidak dituntut necis dan rapi, jika ingin mewawancarai seorang petani di tengah sawahnya.

Kelembutan dan santun.

Rasanya, jarang orang yang tidak peka dan senang dengan kelembutan. Bagi seorang wartawan, berbicara lembut dan santun, tampaknya suatu keharusan. Malah, menjadi modal utama setelah penampilannya yang meyakinkan. Dua modal ini, saya kira merupakan alat pendobrak yang paling tangguh bagi benteng tebal “penembus” narasumber.

Harus diakui, ada banyak pihak atau orang yang ditemui wartawan, langsung risih, begitu dia tahu yang mendatanginya seorang wartawan. Soal apa penyebabnya, agaknya beragam pula. Dalam situasi orang tidak senang dengan kita, senjata ampuh untuk nenaklukkannya adalah kelembutan dan bicara yang santun. “Hanya yang lembut mampu menerobos yang keras,” ujar penulis legendaris, Asmaraman S Kho Ping Ho, Petualang Asmara (1980).

Pada kasus ini, tidak jarang pula, kegagalan komunikasi antara wartawan dan narasumber berujung pada persoalan baru. Tetapi, realita ini layak dimaklumi, sebenarnya. Bayangkan, saat orang yang kurang sreg dengan kita bebicara kurang sopan, tentu kita akan sedikit emosi. Tetapi, dalam tugas “menembus” narasumber kita wajib memainkan strtegi: lawan dengan kelembutan.`

Kita kembali ke contoh ingin menemi si Camat itu. Jika wartawan ingin meminta konfirmasi di ruangannya, tentu harus lebih dulu meyakinkan ajudannya. Si Ajudan, punya peran yang sangat menentukan apakah Anda berhasil menemui si Camat di ruang kerjanya. Tanpa ijin si Ajudan jangan harapa bisa bertemu si Camat.

Pertanyaannya, bagaimana meyakinkan ajudan yang baru saat itu, Anda kenal? Tidak ada cara paling ampuh memengaruhi seseorang, tanpa lebih dulu memberi dia rasa simpati. Penampilan Anda adalah objek utama yang membuat dia simpati dan yakin. Jika dia sudah senang dengan penampilan Anda, didukung cara bicara yang lembut dan sopan, sudah cukup menjadi modal bagi Anda untuk mendapat “restu” ajudan.

Saya punya banyak pengalaman tentang hal-hal seperti ini. Penampilan, cara bicara sangat menentukan keberhasilan tugas saya sebagai wartawan saat meminta konfirmasi, melakukan wawancara dan sebagainya. Memang hal ini tidak selamanya ampuh, bila unsur ketakutan sudah mendominasi keadaan.

Mungkin saja Si narasumber takut, akan terbongkar kejahatannya. Misalnya, si Ajudan akan segera masuk ke ruangan bosnya, begitu saya menyebut ingin ketemu. Tiba-tiba, dia keluar dari ruangan bos dan segera memberi tahu saya bahwa bosnya tidak ada waktu buat saya. “Bapak Camat tidak ada waktu untuk wartawan Pak,” katanya berbasa-basi.

Dalam kondisi begini, kita masih punya strategi lain, yang mungkin lebih jitu, karena kita telah memberi si Ajudan dua keuntungan: penampilan prima dan bicara yang santun. Biasanya, saya akan mencoba meyakinkan si Ajudan bahwa saya hanya punya kepentingan sebentar saja, untuk sekadar meminta konfirmasi: “Tidak lebih 5 menit. Jika lebih lima menit, Anda bisa usir saya dari ruangan bos Anda,” begitu saya katakan jika masih belum diberi kesempatan.

Jika dia tak juga mau, yah, saya akan menunggu si Camat keluar ruangan dan saya cegat. Tetapi, seorang pejabat di Pekanbaru pernah memperlakukan saya kurang baik. Yang membuat saya akhirnya mengancam: “Begini, Pak, karena ini kepentingan bos Bapak, apapun cara akan saya tempuh untuk ketemu dia. Jika dia misalnya jam sepuluh malam baru keluar ruangannya, saya tunggu. Saya tidak mau menulis berita sepihak,” ancaman demikian saya rasa, menggetarkan jiwa semua ajudan.

Saya kemudian berhasil melakukan wawancara di ruang kerja si Pejabat. (Baca Buku: Strategi Menembus Narasumber Mengatasi Konflik, 2005) Tetapi, hal yang perlu dimaklumi adalah, saya berani mengancam karena telah memiliki modal utama: penampilan prima, lemah lembut dan santun. Inilah strategi jitu “menembus” narasumber.



[1] Stephen R. Covey, The 8th HABIT, Gramedia, Jakarta, 2005, hal.60

[2] Norman Vincent Peale, Anda pasti Bila Anda Pikir Bisa, Professional Books, Jakarta 1997. hal.205

[3] Wawancara Kompas dengan Meutia Hatta, yang dikutip SKM Genta, Pekanbaru, 1991