
BAGIAN I
PENGENALAN
DUNIA
JURNALISTIK
Oleh: Drs. Wahyudi EL Panggabean.
1. Tak Sekadar
Kartu Pers...
Kendati perkembangan informasi dan media massa begitu pesatnya, tampaknya, pekerjaan jurnalistik dan dunia kewartawanan belum dikenal luas. Bagaimana idealnya pekerjaan seorang wartawan atau dalam bahasa Inggris disebut journalist ini? Memang harus diakui, masih menempati gambaran beragam di tengah masyarakat kita.
Jika dilihat sejarahnya, secara etimologi, jurnalistik berasal dari kata journ. Dalam bahasa Perancis, journ artinya catatan atau laporan harian. Dengan demikian, jurnalistik merupakan kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau laporan yang dibuat setiap hari. Itu artinya, jurnalistik identik dengan tugas dan pekerjaan seorang wartawan dalam menjalankan profesinya.
Untuk itu, hal atau tugas apa saja, menyangkut tugas wartawan, sepanjang dalam lingkup profesinya, layak disebut jurnalistik. Pengemban dan pelaksana tugas itu dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah journalist. Dalam bahasa Indonesia disebut wartawan. Pengertian ini dipertegas dan diperjelas UU Pers No. 40 Tahun 1999, Pasal 1 Ayat 4:
Yang dimaksud dengan wartawan dalam undang-undang ini adalah orang yang secara teratur melakukan tugas jurnalistik.
Tentu saja, pekerjaan jurnalistik dimaksud, dilakukan seseorang yang memang bekerja pada sebuah penerbitan media massa. Baik media cetak berupa—bulltetin, majalah, surat kabar--maupun media elektronik gambar seperti tele visi, media elektoronik suara seperti radio dan cyber media seperti media internet.
Semua pekerjaan yang berhubungan dengan perburuan dan pencarian, pengolahan dan penyiaran berita untuk media massa tersebut berada dalam lingkup tugas-tugas jurnalistik yang dilakukan wartawan.
Meski tidak diatur jelas dalam undang-undang, biasanya seorang wartawan dilengkapi kartu identitas dari media tempat dia bekerja. Kartu ini disebut kartu pers (perss card). Masalahnya, tidak semua pemilik kartu pers ini, justru bekerja sebagai wartawan seperti yang diamanahkan UU Pers No. 40 tahun 1999 itu.
Terlebih lagi, dalam satu dasa warsa terakhir, era lebih mudah mendirikan penerbitan pers. Kondisi ini dimanfaatkan orang-orang yang melirik pers sebagai alternatif. Ada banyak oknum memanfaatkan kartu pers untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Tidak sedikit pemilik dan pengelola penerbitan yang berani menjual kartu pers buat orang-orang yang memang tak memiliki bekal dan pengetahuan jurnalistik.
Mereka ini memiliki gelar beragam: Wali (Wartawan Liar), WTS (Wartawan tanpa surat kabar), Wartawan Gadungan, Wartawan Bodrex, Wartawan CNN (cuma nengok-nengok) Wartawan Muntaber (muncul tanpa berita) dan banyak lagi gelarnya. Lain daerah, lain pula gelar populernya. Di kawasan Kepulauan Riau, dikenal istilah Wartawan Kucing. Datang mengeong, sekadar minta uang makan dan minyak sepeda motor. Uang diberikan, dia langsung pergi.
Dengan modal keberanian, mereka para pemegang kartu pers ini, mendatangi sumber-sumber berita di instansi-instansi. Mereka nekat melakukan investigasi kasus-kasus penyelewengan. Kemudian mewawancarai dan meminta konfirmasi tentang dugaan penyimpangan yang dilakukan pejabat di berbagai instansi. Lantas, dalam wawancara dan konfirmasi itu, mereka mengkondisikannya, agar sumber berita tersebut merasa ketakutan jika kasusnya, diberitakan di media.
Tujuan akhirnya? Tentu saja uang. Atau lebih lazim dengan istilah amplop. Karena sebelum uang diberikan narasumber kepada wartawan, biasanya dimasukkan dulu dalam amplop. Penomena demikian, kelihatannya, sulit membasminya. Soalnya, perlu juga dicatat. Ihwal menerima amplop ini, tidak semata-mata monopoli para ”wartawan-wartawanan” yang saya sebut tadi.
Pernah juga saya melakukan pengamatan, khususnya dunia ”per-amplop-an” ini. Yang saya jadikan sampel pengamatan adalah para wartawan yang bertugas di Pekanbaru. Baik dari media terbitan lokal maupun media terbitan Jakarta. Mengamati dan memperhatikan para wartawan dalam berbagai kesempatan jumpa pers, juga mewawancarai banyak narasumber dan para wartawan itu sendiri. Kesimpulannya: kebanyakan wartawan memang menerima amplop dari narasumber.
Ada kekecualian, tentu. Satu atau dua orang wartawan dari media terbitan Pekanbaru. Dan satu-dua orang wartawan media terbitan Jakarta. Yang lain? Justru amplop menjadi motivasi utama. Malah, sebagian wartawan, semata-mata mengincar kesempatan mendapatkan amplop ketimbang berburu informasi.Yang begini memang, tergolong parah.
Meski, tidak lebih banyak, kenyataannya, cukup ampuh menodai citra wartawan. Sebab, perilaku demikian, langsung bersentuhan dengan masyarakat. Sikap buruk yang senantiasa dipertontonkan kepada narasumber ini, tampaknya telah membangun konotasi jelek wartawan di mata publik.
Sehingga, tidak jarang, jika perbincangan mengambil topik seputar profesi jurnalistik, kerap kali yang muncul deskripsinya adalah orang-orang yang diidentikkan dengan sikap negatif. Ada yang menilai, sebagai oknum pengemis, pemeras orang-orang bersalah dan pihak yang dinilai selalu memanfaatkan situasi untuk kepentingan uang.
Ironis. Banyak juga para wartawan pemburu amplop ini, justru bekerja di media yang secara kapital dan finansial, sudah cukup berkembang. Malah, sebagian mereka menerima gaji yang lumayan dari perusahaan pers tempat mereka bekerja itu. Namun, jika perilaku materialistis sudah merasuk, berapa pun gaji yang diterima setiap bulan, tidaklah pernah cukup. Selalu saja merasa kurang. Akibatanya, profesi disalahgunakan.
Padahal, selalu dicantukam di bawah boks redaksi (susunan nama-nama pengelola media) sebuah surat kabar berupa pengumuman: ”Wartawan kami selalu dibekali identitas dan tidak dibenarkan menerima pemberian dalam bentuk apa pun dari narasumber”. Di media televisi, setiap saat muncul pengumuman yang isinya kira-kiran begini: Hubungi nomor telepon ini, jika menemukan wartawan kami meminta atau menerima pemberian narasumber. Sayangnya, ultimatum itu, bagi sebagian wartawan, dianggap hiasan belaka.
Apa jeleknya wartawan menerima amplop? Pertanyaan inilah yang sangat jarang diangkat. Baik dalam pertemuan-pertemuan formal sesama wartawan, di lingkungan organisasi, atau saat mengadakan pelatihan-pelatihan jurnalistik. Mungkin saja, pertanyaan ini kurang menarik, mengingat sebagian besar wartawan di daerah ini sudah terjangkiti ”virus” amplop? Entahlah!
Jelasnya, tidak bisa dimungkiri. Apa pun pemberian narasumber kepada wartawan saat si Wartawan menjalankan tugas jurnalistik, pasti memengaruhi berita yang dia tulis. Apakah pemberian itu-- sesuai ucapan si Pemberi--tidak akan mengikat, apalagi yang sengaja diberikan agar wartawan terpengaruh. Toh, namanya uang, sangat rentan terhadap informasi yang diperoleh wartawan. Apa pun dalihnya, saya kira berita yang ditulisnya akan bias.
Memang ada kalanya, saat memberi uang amplop itu, si Narasumber mungkin belum terlibat kesalahan atau penyelewengan. Tetapi, suatu saat kelak, dia melakukan kesalahan, si Wartawan penerima uang dari dia, akan mengingat pemberian itu. Otomatis akan berpengaruh pada berita yang akan dia tulis menyangkut si Narasumber tadi.
Sebuah peristiwa pengancaman seorang oknum Kapolsek terhadap seorang wartawan contohnya. Peristiwanya, beberapa waktu silam. Pasalnya, si Wartawan memberitakan kesalahan yang dilakukan anggota si Kapolsek. Kasus ini sempat heboh sampai ke meja Kapolda, saat pimpinan si Wartawan dan kalangan organisasi mengadukannya serta mengecam tindakan si Kapolsek. Persoalan memang terhenti saat kapolda dilapori. Tetapi, masalahnya tetap membekas dendam bagi kedua belah pihak.
Saya mencoba menelusuri, kenapa si Kapolsek begitu arogan? Bukankah kesalahan memang dilakukan anggotanya? Ternyata, hasil dialog saya dengan si Wartawan, berhasil mengungkap informasi lebih menarik lagi: selama ini hubungannya dengan si Kapolsek cukup mesra. Malah dia sering ”dititipi” uang malam Minggu oleh Kapolsek.
Sayangnya, kemesraan berbumbu ”uang’ itu langsung robek saat si Wartawan menulis kasus dalam lingkup tugas si Kapolsek. Begitulah jadinya, jika koneksitas wartawan dengan narasumber direkat uang. Begitu rentan. Tidak bertahan lama.
Baru-baru ini, kasus wartawan tercuat lagi. Di sebuah desa di kawasan Pelalawan, dua wartawan mengaku dari KPK (Koran Pemberantas Korupsi) ditangkap polisi dalam sebuah jebakan yang disutradarai oknum kepala desa. Sebelumnya, si Kades, yang mereka duga melakukan tindakan korupsi dana pemerintah untuk desanya, dimintai konfirmasi.
Kedua wartawan itu mengancam: akan melaporkan kasus itu ke Polda Riau. Tentu si Kades, ketakutan dan mencoba menenangkan wartawan. Caranya? Yah, penuhi perminataan mereka. Masing-masing wartawan meminta Rp 2 juta. Janji dibuat. Uang diserahkan di sebuah tempat di Pangkalan Kerinci. Usai si Kades mengambil uang di salah satu bank.
Begitu uang diserahkan beberapa oknum reserse Polres Pelalawan, langsung membekuk kedua wartawan itu. Mereka digelandang ke Mapolres dan kemudian ditahan. Kasusnya sampai ke pengadilan. Mereka dihukum sebagai pemeras. Tindakan ini, sangat memalukan. Dan, peristiwa semacam ini, termasuk yang apes. Bagi yang tidak terdeteksi, mungkin saja jumlahnya lebih banyak.
Pemerasan, penerimaan suap dan penyalahgunaan profesi wartawan, tampaknya terus terjadi. Semua itu dilakukan demi kepentingan pribadi dan mengorbankan informasi yang seharusnya disiarkan dan diberitakan kepada masyarakat. Wartawan butuh uang, narasumber ingin lepas dari pemberitaan. Jika kedua belah pihak sepakat, terjadilah suap menyuap. Jika si Narasumber tidak setuju, tindakan wartawan disebut pemerasan. Jika si Wartawan konsisten dengan profesinya, apapun alasan, berapa pun imbalan, ia tidak peduli. Informasi yang jujur tetap diberitakan kepada masyarakat.
. Sebagai wartawan, Anda pilih mana? Berjuang melawan godaan, bermodalkan profesionalisme saja, ternyata tidak cukup. Seorang wartawan harus memiliki integritas. Integritas berasal dari kata integer (Latin) artinya: tidak tersentuh noda.
Seperti tercermin dalam Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJI) Pasal 6: Wartawan Indonesia, tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi. Syah saja, pengertian suap dalam kode etik ini, tetap diperlonggar. Khususnya bagi kalangan wartawan yang sudah dirasuki kehidupan sarwa materi. Sehingga, pemberian narasumber sering ditafsirkan sebagai hadiah. Bukan suap.
Sebagai wartawan dan orang beragama, sudah saatnya kita menjauhi praktik-praktik suap yang merusak moral dan tatanan kehidupan. Akibat suap, informasi tentang kebenaran tidak mungkin diperoleh. Ingat sabda Rasulullah saw :
”Sesungghnya Alah melaknat orang – orang pemberi dan penerima suap serta broker yang jadi perantaranya”.
Kesimpulan:
1. Wartawan adalah orang yang secara teratur melakukan tugas jurnalistik.
2. Wartawan tidak sekadar dibuktikan dengan kartu pers. Harus memiliki media tempatnya menyalurkan berita-berita atas tugas jurnalistik yang dijalankannya.
3. Wartawan yang baik adalah wartawan profesional dan memiliki integritas. Sedapat mungkin menghindari pemberian narasumber. Menginkat atau tidak.
4. Pemberian uang seperti populer dengan istilah amplop, sangat merusak citra wartawan. Karena akan memengaruhi objektivitas berita yang ditulisnya. Hindari itu.
2. Siapa Menggaji
Wartawan?
Pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang berkewajiban menggaji wartawan, bukan hanya merupakan pertanyaan masyarakat atau kalangan di luar profesi wartawan. Malah, banyak wartawan yang tidak mengetahui sama sekali bahwa mereka sebenarnya, seyogianya menerima gaji dari perusahaan pers tempat mereka bekerja. Baik berupa gaji, honor atau bentuk penerimaan lainnya. Sampai ke soal kepemilikan saham, wartawan harus punya hak. Pasal 10 UU Pers No. 40 Tahun 1999 berbunyi:
Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba serta bentuk kesejahteraan lainnya.
Jika merujuk kepada isi pasal tersebut, tidak diragukan lagi, betapa sejahteranya, sesungguhnya, seorang wartawan. Khususnya yang bekerja di media-media mapan.
Buat wartawan Riau, paling tidak sebagian besar wartawannya, sudah pada menikmati buah kesejahteraan ini. Mengingat beberapa media cetak terbitan Pekanbaru, konon sudah pada tahap meraih keuntungan spektakuler setiap tahun. Sebuah surat kabar harian kriminal, menurut pemimpin redaksinya, bisa meraih laba bersih di atas satu milyar rupiah pertahun.
Sementara karyawannya, termasuk wartawannya paling banyak 30 orang. Angka-angka itu, bisa memberi gambaran menggembirakan, andai pemilik perusahan pers itu menaati imbauan Pasal 10 UU Pers tadi. Malah ada surat kabar Riau meraup keuntungan bersih di atas Rp 10 milyar setahun. Luar biasa!
Terlepas dari itu, setahu saya, para wartawan di media tersebut menerima honor berupa gaji di atas sejuta rupiah per bulan. Itu baru kalangan wartawan dengan masa kerja sekitar 6 bulan. Tentu saja, angka itu melejit bagi para redaktur dan wartawan senior, yang sudah lebih dulu mengabdi. Wajar, jika media-media yang dikelola dengan managemen serius, menjadi incaran para wartawan, saat ini.
Lantas, bagaimana dengan media-media kecil? Dari khazanah inilah, tampaknya sering mencuat persoalan. Hingga--seperti pertanyaan tadi, banyak di antara mereka, para wartawan di media kecil ini--jadi “korban”. Jangankan menerima gaji atau honor dari perusahan tempat mereka bekerja. Malah, mereka terkadang tidak menyadari, bahwa perusahaan mereka wajib menggaji mereka.
Masalahnya, terkadang dilematis juga. Perusahaan tak layak dituntut. Jangankan menggaji, untuk biaya cetak saja: “Senen-Kemis”. Lha, sebaliknya, mau menggaji wartawan pula? Apakah memang wartawan yang dipekerjakan itu sudah memiliki skill jurnalistik, sehingga mampu melahirkan produk jurnalisme yang layak dibayar? Dalam kondisi demikian, surat kabar tetap terbit. Caranya, para wartawan, yang mereka bekali kartu pers dimintai dana dengan kedok pembayaran koran di depan.
Katakanlah seorang wartawan harus membayar uang pembelian 3 bulan koran dengan 50 eksemplar koran, per terbit. Jika satu bulan empat kali terbit, yang harus dibayar wartawan yakni 12 kali 50 eksemplar yaitu 600 eksemplar. Jika satu eksempalar dirata-ratakan harganya Rp 3.000, maka si Wartawan harus menyetor dana Rp 1,8 juta. Dengan catatan, pemilik dan pemimpin media, tidak mau tahu dengan koran yang dikirimkannya kepada wartawan setiap terbit, mau laku atau tidak. Yang jelas, sebelum habis masa tiga bulan itu, dia kembali meminta setoran uantuk 3 bulan berikutnya. Dan seterusnya, dan seterusnya. Uang tidak disetor kartu tidak diperpanjang.
Nah, dari mana si Wartawan menerima gaji? Terus terang, kendati hal ini memprihatinkan, inilah sisi lain dunia jurnalistik kita. Sisi gelap pers demikian, kelihatannya masih marak. Kondisi demikian ini, jika diteliti saksama, bisa jadi merupakan sumber rusaknya citra wartawan di negeri ini. Memang, masalahnya bisa diperdebatkan. Namun, secara logika, apa mungkin seorang wartawan bisa bertahan hidup dari media demikian, tanpa menerima gaji? Bukankah tututan kebutuhan perut tidak bisa ditunda dan harus dicarikan solusinya walau harus mengemis dan memeras?
Deregulasi industri pers, sejak era reformasi menggeliding, pantas disyukuri. Tetapi, kondisi dimana menjamurnya penerbitan tak terkendali yang disetir tanpa profesionalisme, seperti sekarang ini, setuju atau tidak, telah melahirkan beragam persoalan di tengah masyarakat kita. Mau tidak mau, wartawan sebagai profesi mulya, pemburu informasi, demi kebutuhan hakiki pembaca, kecipratan bercak noda. Noda yang menyembur dari pribadi wartawan sendiri.
Tapi tak perlu terlalu dikhawatirkan. Toh, sisi terang wartawan kita sekarang, jauh lebih bersinar. Bagi yang ingin menjadi wartawan profesional, yang semata-mata menggantungkan kehidupan pada profesi wartawan, kesempatan kian besar. Saat ini, para pengelola surat kabar harian, secara kontiniu membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin menjadi wartawan. Tentu saja dengan gaji dan honor, boleh dikatakan memadai.
Makin mapan media, makin tinggi gaji wartawannya. Terlebih media massa profesional seperti Harian Kompas, The Jakarta Post, Majalah Tempo dan media-media lain, juga media elektornik seperti Metro TV, SCTV, AN TV, TV One, RCTI dan sebagainya, gaji wartawannya tentulah sangat besar. Dan, untuk bisa menjadi wartawan di media besar seperti itu, juga punya persyaratan khusus serta harus melalui tes penyaringan ketat. Tetapi, jika Anda berminat, sepanjang mau berusaha serius dan bekerja keras, kenapa tidak?
Khusus media lokal, sering sekali, iklan lowongan bagi wartawan terpampang. Juga media terbitan Pekanbaru. Kesempatan, selalu muncul. Menjadi wartawan di media terbitan daerah, tampaknya sedikit lebih longgar dibanding media besar terbitan Jakarta. Persaingannya, juga cenderung ringan. Tetapi, begitu Anda diterima menjadi wartawan di media-media mapan, baik terbitan Jakarta maupun daerah, biasanya Anda langsung menerima gaji. Meskipun masih dalam tahap magang.
Mungkin saja, ada media, baru sebatas memberlakukan honor berita, di masa percobaan. Tetapi honor yang diterima seorang calon wartawan kreatif, tergolong lumayan. Apalagi untuk ukuran seorang lajang. “Saya menerima di atas sejuta rupiah per bulan dari honor berita saat menjalani masa percobaan,” kata seorang wartawan surat kabar harian terbitan Pekanbaru.
Hidup dari honor berita, atau gaji yang diberikan perusahaan tempat si Wartawan bekerja, betapa pun kecilnya. Bukan hidup atas pemberian narasumber, betapapun besarnya. Wartawan yang baik, profesional dan memiliki integritas, sesungguhnya adalah wartawan yang semata-mata digaji perusahan tempat dia bekerja atas kinerja jurnalistiknya. Hasil kreativitasnya dibayar sesuai misi yang dijalankannya: Berburu informasi jujur, memperjuangkan nilai-nilai kebenaran,
untuk dipublikasikan kepada khalayak.
Kesimpulan:
1. Seorang wartawan profesional, menerima gaji dan honor yang cukup dari media tempatnya bekerja.
2. Wartawan yang bak, hanya menerima gaji dari hasil kreativitasnya dan perusahan tempat dia mengabdikan profesinya.
3. Hanya wartawan tak profesional yang tidak menerima gaji dari perusahaan medianya. Wartawan seperti ini, dinilai turut merusak citra wartawan.
4. Makin mapan perusahan media, makin besar honor dan gaji yang diberikannya kepada wartawannya.
3.
Tak Satu Jalan
Menuju: Wartawan
Ingin jadi wartawan, bagaimana caranya? Jawabnya: bagai menuju Roma, banyak jalan bisa ditempuh. Sepanjang memiliki kemauan yang kuat, pasti ada jalan.
Bisa langsung melamar ke media saat media itu membuka lowongan. Bisa juga didahului mengikuti pendidikan semacam kursus. Tentu kedua cara ini, bukan harga mati. Ada cara lain lagi, yakni dengan mengirimkan tulisan-tulisan secara kontiniu ke sebuah media. Hingga suatu saat kelak, redaktur tertarik. Lantas menarik Anda ke bagian lingkup tugas jurnalistik di medianya.
Dengan cara langsung, melamar saat media membuka lowongan, berarti harus memenuhi persyaratan yang diminta media tersebut. Pendidikan, misalnya. Harus sarjana dan IPK minimal 2,75 dan usia, biasanya tidak di atas 27 tahun. Lantas, harus mengikuti serangkaian tes yang ditetapkan sebuah tim. Jika Anda lolos, tahapan selanjutnya mengikuti pendidikan dasar-dasar jurnalistik. Jalur ini, memang sedikit lebih sulit.
Untuk alternatif kedua, memang butuh proses. Belajar sekaligus pemagangan bisa menelan total waktu 4 bulan. Jalur pendidikan demikian, ternyata cukup berhasil. Setelah dididik dengan bekal pengetahuan jurnalistik selama 2 bulan penuh, dua bulan berikutnya, menjalani pemagangan di media. Biasanya, calon wartawan yang berhasil menunjukkan prestasi gemilang saat magang, langsung “dilamar” media tersebut, utuk menjadi wartawan. Kenyataannya, alternatif kedua inilah yang banyak diikuti para calon wartawan.
Nah, apa pula syaratnya mengikuti kursus pelatihan wartawan ini? Pertanyaan ini mengingatkan saya pada sebuah kisah di bulan Februari 2007. Seorang bintara dari Corp Polisi Militer mendatangi Lembaga Pendidikan Wartawan, Pekanbaru Journalist Center (PJC) Jalan Paus 200 E Pekanbaru, sebuah lembaga pendidikan yang saya dirikan beberapa hari sebelumnya. Tepatnya tanggal 12 Februari 2007.
Pria 30-an, tentu saja berpostur tegap, tinggi dan besar itu, hadir di sana, setelah membaca iklan penerimaan siswa PJC. “Saya ingin mendaftarkan adek saya, Pak!” katanya tegas, tapi santun. Sepekan kemudian, setelah proses belajar berjalan 2 hari, barulah adeknya itu datang dan langsung ikut belajar. Mirip abangnya, berpostur tinggi besar, agak gendut.
Seperti biasanya, setiap siswa harus maju ke depan kelas dan bercerita riwayat hidup masing-masing. Tentulah yang paling utama, menjelaskan motivasinya ikut belajar. Agak lucu, kedengarannya. Ternyata, siswa yang satu ini, da tahun terkahir bekerja sebagai pengamen. Ijazah terakhir yang dimilikinya pun hanya Paket C, setara SLTA.
Tetapi, sebagai seorang guru, bagi saya, itu tidaklah teramat penting. Silakan media punya standar sendiri saat menerima calon wartawannya. Apakah harus minimal berpendidikan sarjana atau sederajat, itu soal kebijakan administrasi. Namun, keinginan kuat untuk belajar menjadi wartawan, pantas juga dihormati.
Menurut saya, seorang guru, haruslah bertindak sebagai seorang imam dalam salat. Siapapun yang berdiri sebagai makmum, ia tidak boleh melarang.
Kembali ke cerita tadi. Mentalnya bagus. Memiliki kemauan dan tekad kuat. Malah mengalahkan tekad siswa lain yang umumnya sarjana. Pendidikan dia jalani dengan tekun selama 2 bulan.
Selanjutnya, menjalani pemagangan di sebuah koran harian. Sayangnya, saat magang, ia merasa tidak dihargai para redaktur media itu. Dia kembali ke saya membawa keluhan: “Masak saya disuruh mereka, mewawancarai Ketua RT? Kenapa tak ditugasi mewawancarai Kapolda?” kali ini, ia sangat marah.
Saya hanya tersenyum, meminta dia pindah magang ke majalah yang saya pimpin. Ia setuju. Pendek kisah, dia termasuk tim wartawan yang berhasil meliput bencana gempa di Sumatera Barat, kala itu. Kelihatannya, prestasinya selama pemagangan lumayan bagus. Usai ujian akhir, ia kemudian menghilang. Tiga bulan kemudian saya dengar dia kembali ke habitatnya.
Tetapi, kondisi ini tak bertahan lama. Abangnya, segera mengambil inisiatif. Atas bantuan seorang pemimpin redaksi surat kabar di Pekanbaru, dia diterima magang di koran itu. Kemampuannya muncul. Beritanya cukup kreatif dan tajam. Ia berhasil. Kemudian menikah dengan wanita pujaannya. Kini, ia telah dianugerahiNya seorang anak. Sampai sekarang masih tercatat sebagai wartawan di media itu.
Meskipun bukan siswa terbaik kala itu, tetapi dengan modal ijazah Paket C, ia membuktikan kemauan dan tekad membaja, mengantarnya ke cita-citanya. Akan sangat beda tentu, andai ia masih tetap ngamen. Ia malah, akan jadi objek pemberitaan wartawan. Karena, mungkin, suatu hari diuber-uber polisi pamong praja, karena dinilai mengganggu ketertiban umum. Bisa jadi.
Nah, bagaimana jika langsung melamar ke media saat penerimaan wartawan? Seperti dijelaskan, harus lolos tes. Dan kemudian mengikuti pelatihan dasar jurnalistik yang diselenggarakan media tersebut. Tetapi, akhir-akhir ini, para pengelola media sudah tak mau menempuh risiko, susah-susah mengiklankan lowongan wartawan. Mereka lebih sering menelepon lembaga pendidikan, menanyakan alumni lembaga itu yang masih nganggur.
“Untuk apa susah-susah merekrut dan mendidik orang? Lebih baik langsung terima yang sudah jadi,” kata seorang anggota tim seleksi wartawan sebuah koran harian terbitan Pekanbaru. Artinya, jika ingin jadi wartawan, tempulah jalur kedua tadi: kursus dulu. Dengan memiliki bekal ilmu jurnalistik, sebuah media “terpaksa” menerima Anda. Sekalipun Anda hanya tamatan SLTA. Karena kemampuan lebih dibutuhkan dari pada pendidikan formal.
Banyak bukti tentang ini. Bambang Hermanto, penerima PJC Award 2009 sebagai wartawan dan Alumni PJC terbaik, adalah kisah perjalanan seorang wartawan sukses dengan memilih jalur ini. Bambang hanya jebolan SLTA dan memulai kariernya sebagai jurnalis dengan belajar di PJC tahun 2007. Pamannya, seorang pemimpin redaksi surat kabar harian, malah memintanya, belajar dulu, baru bekerja di medianya.
Dengan modal ijazah SLTA, ia termasuk siswa terbaik di PJC. Kemudian ia menjalani pemagangan di Surat Kabar Kriminal, Pekanbaru MX. Selama magang ia cukup diperhitungkan. Usai magang dia langsung “ditarik” jadi wartawan di media itu dengan status percobaan. Masa uji coba enam bulan itu, dilaluinya dengan kerja keras. Kerja kerasnya membuahkan hasil. Ia tampil sebagai salah seorang wartawan kreatif. Ia kemudian diangkat menjadi wartawan tetap media itu.
Dengan gaji tetap, yang nominalnya tergolong lumayan, ia tak buang kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Saat ini, ia belajar di Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning. Bekerja sekaligus mahasiswa, membuatnya tak lagi merasa minder di kalangan wartawan yang terus berpacu, bekompetisi. Atas kegigihannya, menekuni profesi dan tetap berupaya menimba ilmu, serta terus mempertahankan integritas, ia berhasil meraih penghargaan tertinggi dari lembaga tempat dia belajar jurnalistik: PJC Award 2009.
Pengalaman Bambang diikuti banyak juniornya dari PJC. Saat ini, dari 150-an alumni PJC sekitar 75-an sudah bekerja sebagai wartawan baik di koran harian maupun di koran mingguan. Menjadi wartawan surat kabar mingguan, tentu sedikit lebih mudah. Soal ini, malah sudah ada yang menerbitkan media sendiri sekaligus memimpinnya. Yakni, Alex Harefa, alumni PJC pemilik sekaligus pemimpin SKM RADAR. Alex juga menerima penghargaan PJC 2009 sebagai alumni yang berhasil menerbitkan dan memimpin media sendiri.
Intinya, mereka membuktikan, bahwa mereka mampu dan gemilang. Seperti kata pepatah: Dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Walau sesungguhnya, media-media sekarang memberi persyaratan, wartawan minimal D-3, toh dengan cara yang ditempuh Bambang, kelihatannya lebih baik. Ia kuliah setelah bekerja. Lumayan. Cara yang dilakukan Alex tentu, lebih exellen.
Jalur ketiga, lebih dulu mengirimi sebuah redaksi tulisan-tulisan. Cara ini juga ditempuh beberapa wartawan. Setidaknya, tulisan-tulisan itu, apalagi banyak di antaranya yang dimuat, sudah membuka perkenalan penulis dengan pihak redaksi, khususnya soal kreativitas. Jika kelak, mereka butuh wartawan, mungkin mereka memanggil dan menyuratinya. Jalur ini, memang tergolong lambat.
Adakah cara lain? Ada! Jika Anda termasuk orang yang memiliki kemauan keras menjadi wartawan, ikuti saja petunjuk dalam pelatihan ini dan cari buku-buku relevan. Praktikkan terus hingga Anda berhasil. Lakukan latihan-latihan sesuai saran buku-buku tersebut. Saya yakin, Anda akan berhasil. Jangan segan-segan mengirimkan tulisan Anda ke media. Coba saja.Tak ada yang perlu ditakutkan. Persoalan dimuat atau tidak, itu urusan belakangan. Jika sudah dimuat sekali saja. Anda telah berhasil 50 persen. Anda pasti bisa!
Yang mesti dipahami, dunia wartawan adalah dunia kreativitas. Bukan dunia birokrasi lazimnya memasuki PNS. Bukti kreativitas, jauh lebih berarti dari jenjang pendidikan formal. Jika Anda melamar menjadi wartawan dan melampirkan bukti berupa kliping tentang berita-berita yang penrah anda tulis di media, Anda punya peluang besar diterima. Strategi ini, jauh lebih ampuh ketimbang Anda membawa surat rekomendasi penguasa atau orang “kuat” yang Anda nilai disegani pengelola media tempat melamar itu. Percayalah!
Kesimpulan:
1. Banyak jalan bisa ditempuh jika ingin menjadi wartawan. Cara paling ampuh, mengikuti kursus dan pelatihan jurnalistik, terlebih dulu. Cara lain, melamar langsung ke media. Atau mengirimi tulisan-tulisan hasil karya jurnalistik Anda.
2. Otodidak, dengan membaca buku-buku, termasuk pelatihan ini, tentunya. Kemudian melakukan latihan rutin. Lantas, berupaya keras agar hasil latihan itu dimuat media. Jika media sudah memuatnya, berarti media sudah percaya dengan kemampuan Anda.
3. Bukti-bukti berupa kliping tulisan Anda di media, jauh lebih berarti ketimbang rekomendasi dari penguasa manapun, saat Anda melamar menjadi wartawan. Sebab dunia wartawan adalah dunia kretivitas. Tidak sama dengan melamar PNS.
BAGIAN II
KODE ETIK &
ETIKA PROFESI
WARTAWAN
Oleh: Drs. Wahyudi EL Panggabean.
4.
Berpeganglah
pada Kode Etik
Jurnalistik
Pada hakekatnya, seorang wartawan berarti seorang pemburu informasi. Seorang pemburu berarti seorang dengan sepucuk senjata di genggaman. Namun, perlu dipahami, seorang wartawan adalah seorang pemburu informasi sejati. Pemburu sejati adalah pemburu yang berani dan jujur.
Kebernian dan kejujuran wartawan harus berada pada lingkup aturan yang membatasinya. Keberanian dan kejujuan itu harus tercermin dalam sikapnya yang santun, berniat baik, adil dan profesional. Tidak mentang-mentang diberi wewenang melakukan perburuan informasi, lantas seenaknya “menembaki” buruan. Semua ada aturannya. Aturan menggunakan senjata yang digenggamnya. Bagi wartawan, senjatanya adalah Kode Etik Jurnalistik.
Senjata di genggaman, berikut pelurunya, belum cukup, tanpa keahlian menggunakannya. Jangan sampai terjadi: senjata justru makan Tuan-nya. Pemahaman dan penaatan pada kode etik, bagi seorang wartawan merupakan hal mutlak. Tidak bisa ditawar-tawar. Kode etik begitu penting: sebagai rambu-rambu, pegangan dan batasan moral bagi seorang wartawan saat melakukan tugas-tugas jurnalistiknya.
Umumnya, distorsi (gangguan) yang terjadi dalam tugas-tugas kewartawanan, bersumber dari ketidakpahamannya atau pelanggaran yang dilakukannya terhadap kode etik jurnalistik. Sebab, sesungguhnya semua lingkup tugas jurnalistik, harus dikawal oleh kode etik. Tanpa itu, bisa dibayangkan, seorang wartawan akan kehilangan kendali. Sehingga, bisa diduga ia akan gagal menjalankan tugas jurnalistik dengan baik.
Malah, tindakan kekerasan terhadap wartawan, terjadinya friksi wartawan dengan narasumber sampai ke masalah-malasah yang bermuara pada pelanggaran hukum, sering kali bermula dari persoalan ketidakpahaman dan pelanggaran terhadap kode etik yang dilakukan si Wartawan itu sendiri. Jadi, bisa dimaklumi betapa besarnya peran kode etik jurnalistik.
Ada kalanya, seorang wartawan yang melakukan pelanggaran terhadap undang-undang, dan kemudian dihukum, diadili dan dipenjarakan, masih dianggap sebagai “pahlawan” andai ia tidak melanggar kode etik. Peristiwa ini, bisa dilihat dari kasus Majalah Tempo yang memberitakan Tommy Winata, atau kasus wartawan kawakan Indonesia, Mochtar Lubis, dipenjarakan sembilan tahun oleh rezim Orde Baru, karena membongkar kasus korupsi di Pertamina. Begitu monumentalnya peran kode etik bagi seorang wartawan. Sebab, pelanggaran terhadap kasus pidanapun belum tentu merupakan pelanggaran kode etik yang menyangkut moral.
Itu artinya, jika Anda seorang wartawan yang akan melakukan tugas peliputan atau wawancara misalnya. Begitu Anda berangkat dari rumah atau dari kantor, Anda sudah harus ingat dan taat akan kode etik. Niat dan ittikad baik Anda, cara Anda melakukan peliputan atau wawancara, sampai pada mengolah dan menuliskan hasil liputan dan wawancara itu, seterusnya hingga berita itu diedit, dicetak, kemudian disiarkan, semua diatur kode etik, sebagai landasan moral. Kenapa?
Agar Anda tidak melakukan kesalahan, kecurangan atau tidak merugikan orang yang Anda beritakan. Kode etik mengatur semua tata cara bagi seorang wartawan dalam melakukan tugas jurnalistiknya. Kode etik merupakan suatu pedoman bagi wartawan agar tidak ikut bias dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Ditinjau dari segi pendekatan bahasa, “kode” berasal dari kata “code” (Inggris) yang berarti himpunan ketentuan atau peraturan atau petunjuk sistematis. Sedangkan “etik” berasal dari “ethos” (Yunani) yang berarti watak atau moral. Dari pengertian itu, secara sederhana etik diartikan sebagai:
Prinsip-prinsip atau tatanan berperilaku yang baik dari suatu kelompok masyarakat tertentu yang bersumber dari moral atau hati nurani.
Para ahli menyebut, wartawan merupakan salah satu profesi yang khas—seperti halnya dokter, rohaniawan, profesi hukum—dan memiliki tradisi sendiri di tengah perkembangan masyarakat. Untuk itulah, profesi-profesi ini, termasuk wartawan, perlu dilengkapi kode etik.
Kode etik jurnalistik merupakan perangkat aturan yang mengatur tata cara wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik. Aturan ini berlaku secara internal bagi kalangan wartawan di lingkungan organisasi pers saja. Tidak berlaku bagi masyarakat di luar wartawan. Kode Etik Jurnalistik milik PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) misalnya, hanya berlaku bagi wartawan yang anggota PWI.
Bagi wartawan yang tidak anggota PWI harus taat kepada Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJI) yang dirumusakan 26 organisasi profesi wartawan yang ada di Indonesia. Meskipun kode etik bukanlah perangkat hukum, tetapi penaatan terhadap kode etik jurnalistik ini, diatur dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999. Demikian juga dengan kewajiban seorang wartawan yang harus tergabung dalam satu organisasi profesi pers.
Mengingat tidak semua wartawan merupakan anggota PWI, maka yang dibahas dalam buku ini hanyalah Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJI) yang memang berlaku universal bagi seluruh wartawan Indonesia. Sebab, KEJI ini sudah merangkum semua tata cara yang dibutuhkan seorang wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Kesimpulan:
1. Kode Etik Jurnalistik berfungsi sebagai senjata bagi wartawan. Untuk itu, seorang wartawan harus berpegang teguh pada kode etik jurnalistik.
2. Kode etik merupakan rambu-rambu dan batasan sebagai sikap moral agar
wartawan tidak ikut bias dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
3. Banyak masalah yang dihadapi wartawan, termasuk tindak kekerasan dan kasus pelanggaran hukum bermula dari pelanggaran kode etik jurnalistik. Jika Anda ingin menjadi wartawan yang baik dan berhasil, pahami dan taati kode etik jurnalistik.
5.
Bebas, Adil dan Jujur
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita
yang akurat, berimbang, dan tidak berittikad buruk. (Pasal 1 KEJI)
Modal utama Anda sebagai wartawan adalah kebebasan untuk menulis dan memberitakan, apa saja. Tak perlu khawatir, karena kode etik menjamin hal itu, seperti tertera pada kata “independen” dalam Pasal 1 KEJI di atas.
Penafsirannya secara sederhana: independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan hati nurani. Tanpa campur tangan, paksaan dan intervensi dari pihak luar, termasuk pemilik perusahaan pers. Betapa besarnya, wewenang seorang wartawan yang diberikan kode etik. Tujuannya, agar informasi bisa benar-benar sampai ke tangan pembaca, atas upaya yang dilakukan seorang wartawan.
Namun, jangan dulu terlena dengan kebebasan itu. Setiap kebebasan pasti ada batasan.
Tidak ada kebebasan yang mutlak. Kebebasan, masih dibatasi oleh hati nurani. Hati nurani, pastilah sebuah standar yang sangat jujur dan tidak mungkin mengajurkan seseorang berbuat jahat. Kemudian persyaratan dari kata “akurat”. Yakni, berita yang ditulis harus dilengkapi data akurat. Artinya, bisa dipercaya. Sesuai dengan kenyataan objektif saat peristiwa itu terjadi. Bukan ditambah-tambah atau dikurangi nilai-nilai kebenaran peristiwa tersebut. Begitu juga dengan data yang mengiringinya, harus akurat dan sesuai fakta di lapangan. Kata “akurat” ini harus mampu mencerminakan kejujuran seorang wartawan dalam menulis berita.
Unsur keadilan menjadi kewajiban wartawan atas tuntutan kata “berimbang” pada kode etik ini. Seorang wartawan harus memberi kesempatan yang sama pada kedua belah pihak yang diberitakan. Tidak dibenarkan hanya menulis sepihak. Jika seseorang dinyatakan bersalah pun, meski sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan waratwan harus meminta konfirmasi lagi, agar azas perimbangan bisa terpenuhi dalam berita yang dia tulis.
Contoh klasiknya, pemberitaan both sides atas kasus perceraian. Wartawan yang menulis beritanya, meski sudah melalui putusan Pengadilan Agama, harus memberi perimbangan dan kesempatan yang sama kepada kedua belah pihak. Sekalipun pengadilan sudah nyata-nyata memutus perkara, dan menyatakan si Isteri misalnya, terbukti berselingkuh, toh harus diberi dia tempat membela diri dalam berita. Agar azas perimbangan benar-benar terwujud. Sebab, seorang wartawan tidak boleh terbawa “larut” dalam sebuah persoalan. Wartawan hanya punya hak menulis, memberitakannya. Bukan untuk memihak.
Berimbang berarti tidak berat sebelah. Kita maklumi, setiap yang tidak berimbang pastilah menimbulkan persoalan. Aapakah dalam memutus suatu perkara, menyelesaikan sengketa, pertandingan olah raga, perundingan dalam keluarga, termasuk orang tua yang mencurahkan kasih sayang yang tidak berimbang pada anak-anaknya, akan membawa dampak buruk. Apalagi menyangkut pemberitaan yang dibaca dan dipirsa atau didengar banyak orang.
Pada batasan lain, juga diharuskan seorang wartawan punya ittikad baik. Jangan sama sekali berniat merugikan dan “menjatuhkan” suatu pihak. Kearifan seorang wartawan memang dibutuhkan. Sebagai barometer, mengukur ada tidaknya unsur bertendensi merugikan suatu pihak dari berita yang ditulis. Bayangkan, jangankan membuat berita bohong atau berita yang menyudutkan, punya niat buruk saja, tidak dibenarkan kode etik.
Pada tahun 2005 silam, saya didatangi seorang pria agar saya memberitakan kasus sengketa keluargnya di Majlah FORUM Kerakyatan yang saya pimpin. Si Pria ini bungsu dari sembilan bersaudara. Ia merasa sebagian harta-harta warisan orangtuanya adalah miliknya, atas hibah kedua orangtuanya saat masih hidup. Namun, katanya harta itu dikuasai kedelapan saudaranya. Saya setuju memberitakan masalah yang sudah sampai di Pengadilan Agama Pekanbaru itu. Namun, saya tetap meminta konfirmasi kepada salah satu sudaranya yang mewakili tergugat. Berita naik.
Sepekan kemudian seorang pria berpostur besar mencari saya ke kantor redkasi majalah ini. Kami ketemu di rung kerja saya. Dia emosi dan menyebut apa yang dikalim dalam pemberitaan itu tidak benar sama sekali. Ternyata si Pria ini salah seorang daris embilan bersaudara itu. Ia menumpahkan amarahnya terhadap adeknya itu kepada saya. Saya mendengar dengan tekun apa yang dia bilang. Kemudian saya mintaa maaf dan menganjurkan dia menggunakan hak jawab. Tetapi dia menolak.
“Saya kira tak perlu,” katanya dengan nada bicara mulai merendah. “Bapak telah melakukan tugas bapak dengan baik. Bapak melakuakn konfirmasi dengan abang saya. Untuk itu saya tak bisa menyalahkan Bapak. Saya kemari memberi tau aja, bahwa adek saya itu tidka benar. Kalu boleh saya beli satu lagi majlah Bapak,” katanya.
Saat saya menolak menerima uang majalah itu, dia malah marah. “Majalah ini dicetak dengan uang Pak. Saya ini pengusaha percetakan,” katanya, seraya meninggalkan uang Rp 20 ribu. Kmeudian dia pamit dan minta maaf. Saya tak bisa membayangkan, andai berita itu ditulis tidak berimbang. Jangankan memberi kesempatan menggunakan hak jawab, emosinya pun mungkin tak bsia saya bendung.
Banyak persoalan mencuat, bermula dari pelanggaran Pasal 1 KEJI ini. Terutama menyangkut berita-berita politik, mengekspos sucses story seseorang. Dalam menulis dan memberitakan profil seorang yang akan maju dalam Pilkda atau Pemilu contohnya. Tendensi kebohongan dan “membesar-besarkan” prestasi sulit dihindari. Terlebih wartawan telah dititipi “amplop” oleh si Narasumber. Dengan demikian, unsur, “akurat” berimbang dan independen sulit dipenuhi.
Masalahnya, bisa muncul dari kepentingan. Baik kepentingan si Narasumber maupun kepentingan si Wartawan. Andai kata, berita profil demikian, bukan dimasukkan pada kategori berita jurnalisme, tetapi masuk dalam kategori iklan (pariwara) tidak jadi masalah. Silakan dia mengiklankan diri secara resmi, tanpa dimasuki unsur jurnalisme seorang wartawan. Sehingga si Wartawan terbebas dari kemungkinan bias dalam berita profil itu.
Jika hal-hal berbau pariwara dimasukkan dalam tugas-tugas jurnalistik, kemungkinan pelanggaran kode etik oleh wartawan cukup besar. Soalnya, menyangkut “pemberian” tadi.Ini bisa berdampak buruk. Bayangkan, andai ada pihak mengklaim, reputasi dan prestasi yang ditulis itu, ternyata bertolak belakang dengan kenyataan sebenarnya? Bukankah reputasi si Wartawan juga ternoda? Kredibilitas mediapun ikut bercak. Dari kasus seperti ini, sesungguhnya, sikap adil dan kejujuran wartawan diuji di tengah kebebasannya mengemban profesinya.
Seharusnya kita sepakat, bahwa kejujuran harus menjadi pilar yang mengawali sikap wartawan dalam kondisi apapun. Sikap jujur tidak muncul dengan sendirinya, begitu seseorang kemudian berubah profesi jadi wartawan. Kejujuran adalah sikap yang dibawa sejak kecil. Keujujuran merupakan proses pertumbuhan jangka panjang yang lahir dari perjalanan kehidupan yang dijalani seseorang. Sehingga, kejujuran menjadi benteng yang tidak tergoyahkan oleh godaan apapun.
Untuk itulah tampaknya, dari sebagian besar pesan moral yang diamanahkan kode etik jurnalistik selalu berbicara seputar kejujuran. Sebab, tidak mungkin, informasi tentang kebenaran muncul dari karya-karya jurnalistik seorang wartawan yang tidak memiliki kejujuran. Inilah yang jadi persoalan kita hari ini. Menipisnya nilai-nilai kejujuran turut memengaruhi produk jurnalisme yang dikonsumsi pembaca dari media massa yang terbit kompetitif.
Persoalan wartawan, masa kini, secara umum adalah saat kejujuran dikalahkan kebutuhan instan. Dan menempatkan kepentingan pribadi pada bentara kepentingan informasi khalayak yang senantiasa berharap pada produk jurnalisme seorang wartawan. Jika kita kembalikan pada imbauan Pasal 1 KEJI tadi, mau tidak mau, seorang wartawan memang harus jujur dan adil. Sikap adil itupun hanya bsia muncul atas keujuran yang dimilikinya.
Untuk itu pula Noorca Massardi, seorang wartawan kawakan Indonesia, saat memberi pengantar pada buku saya: Strategi Menembus Narasumber Mengatasi Konflik (2005) menyebut kunci utama seorang wartawan adalah kejujuran. Bila seseorang dari awal tidak memiliki sikap jujur dalam hidupnya, lebih baik batalkan niat menjadi wartawan. Selengkapnya mantan wartawan Kompas di Perancis ini menjelaskan:
Seorang wartawan profesional baru akan menjadi “baik dan benar” bila ia berakhlak baik, jujur ( terhadap diri sendiri; terhadap data, fakta dan opini yang dikumpulkannya tanpa memanipulasi atau memelintirnya; terhadap narasumber; terhadap lembaganya; dan terhadap pembacanya, serta tidak meminta dan atau menerima imbalan apa pun, dari siapa pun untuk berita yangd itulis atau berita yang tidak ditulisnya); dan menomorsatukan “kepentingan umum” ketimbang kepentingan kekuasaan atau pihak-pihak tertentu; termasuk kepentingan pribadi.
6.Jadilah Wartawan
Profesional!
Wartawan Indonesia, menempuh cara-cara profesional
dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
(Pasal 2 KEJI).
Jadilah wartawan profesional! Kalimat ini, sering terlontar dari mulut narasumber. Ironisnya, si Narasumber sedang marah saat mengungkapkan kalimat itu. Bisa ditebak, kemarahan itu bersumber dari wartawan yang mendatanginya, mungkin saja, tidak menunjukkan sikap profesional. Akibatnya, mengundang kejengkelan dan amarah.
Setuju atau tidak. Sikap-sikap wartawan yang membuat narasumber jengkel, dalam enam bulan terakhir selalu mengemuka. Parahnya, acap kali, si Wartawan tidak pula mau mengakui kesalahan, setelah terjadi “benturan” dengan si Narasumber. Lucu juga kedengarannya, upaya membela diri dari kelemahan, malah diberitakannya lagi di medianya, bahwa dia dihina, dilecehkan atau dipersulit. Padahal, mungkin juga sumber masalah, justru dari tingkah si Wartawan yang tidak profesional.
Lebih ironis lagi, jika si Wartawan mencoba mengadukan masalah ke pihak organisasi pers tempat dia bernanung. Lantas pemimpin organisasi, menerima mentah-mentah pengaduan si Wartawan. Kemudian, memberi komentar di media, dan mengecam tindakan si Narasumber. Makin runyamlah masalah. Biasanya, organisasi akan menanggapinya dengan “kekuasaan” yang dimilikinya. Tak mengherankan, jika berita-berita kecaman terhadap si Narasumber ramai di media yang mengutip komentar si Pemimpin organisasi.
Tetapi, tentu saja, kebanyakan masalah seperti ini tidak terselesaikan dengan tuntas. Sebab, sumber utama persoalan tidak pernah disentuh. Justru memaksakan penyelesaian dari permukaan. Bukan dari dasar. Jika ditelusuri dengan saksama, ternyata masalah-masalah seperti ini, lahir dari ketidakprofesionalan wartawan. Memang tidak selamanya.
Seorang wartawan profesional, tidak akan menghiraukan hal-hal spele menyangkut tugas jurnalistiknya pengemban nilai-nilai besar, sebagai pemburu informasi. Sebab, jika diaterpancing, hilanglah kesempatannya memburu informasi, saat itu. Wartawan profesional tidak cengeng. Tidak peduli dengan masalah kecil yang mencoba mengusik profesionalismenya sebagai wartawan sejati. Kecuali masalahnya sudah sangat vatal.
Penafsiran Pasal 2 KEJI:
Yang dimaksud dengan cara-cara profesional adalah:
a.Menunjukkan identitas diri kepada nara sumber.
b.Menghormati hak privasi.
c.Tidak menyuap
d.Menghasilkan berita faktual dan jelas sumbernya.
e.Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi
keterangan tentang sumber dan ditampilakn secara berimbang.
f. Menghormati pengalaman trauma narasumber dalam penyajian, gambar, poto dan suara.
g.Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya
sendiri.
h.Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi
bagi kepentingan publik.
Akui, Anda seorang Wartawan!
Meskipun tidak satu pasal pun dalam UU Pers, mengatur perihal kartu pers atau identitas diri bagi seorang wartawan, namun penjelasan KEJI khususnya Pasal 2, menyebut cara-cara profesional seorang wartawan harus selalu menunjukkan identitasnya kepada narasumber saat melakukan tugas jurnalistik. Kekecualian, mungkin hanya pada tugas investigasi.
Hal ini, bisa dimaklumi, untuk menghindari terjadi kesalahpahaman narasumber terhadap wartawan. Sebenarnya, ini masih menyangkut soal kejujuran juga. Wartawan harus mengaku jujur kepada narasumber bahwa dirinya adalah seorang wartawan. Intinya, informasi yang dia peroleh dari si Narasumber hanyalah diperuntukkan sebagai objek berita yang akan dimuat di medianya.
Tanpa menujukkan identias, memang sering, kemudian menimbulkan masalah. Sebab, bisa jadi si Narasumber, tidak merasa sedang berbicara dengan wartawan. Atau tidak sedang diwawancarai untuk kepentingan pemberitaan. Jika kemudian, muncul berita, si Narasumber akan terkejut dan merasa ditipu oleh si Wartawan.
Jika seorang merasa terkejut dan merasa ditipu, bisa dibayangkan kekecewan yang muncul. Syukur-syukur hanya kecewa dan hanya sebatas dia menggunakan hak jawabnya, sesuai prosedur. Bagaimana jika atas keterkejutan dan kekecewaan itu ia kemudian bertindak beringas? Hal seperti inilah yang harus dipahamai seorang wartawan.
Buktinya, tidak sedikit muncul persoalan dari masalah seperti ini. Memang ada kalanya, saat si Wartawan menjelaskan, bahwa dia adalah seorang wartawan, si Narasumber malah langsung “tertutup”dan tidak mau bicara lagi perihal informasi yang dibutuhkan si Wartawan. Tetapi, ini suatu masalah yang memang selalu dihadapi wartawan di lapangan.
Di sini pula, kejujuran wartawan kembali diuji. Apakah sebaiknya dia berbohong agar lebih mudah memeroleh informasi, tetapi kemudian membuat sumber berita merasa dibohongi? Lantas, akan berdampak pada kredibilitas wartawan dan medianya? Dari masalah seperti ini, sering pula muncul persoalan lain, saat berita sudah disiarkan. Masalahnya, tidak ada yang lebih menyakitkan, saat seorang narasumber merasa dibohongi.
Sebuah kasus terjadi tahun 1992, saat saya menjabat sebagai Redaktur Eksekutif di SKM Genta, Pekanbaru. Seorang reporter berinsial YM, menulis berita hasil wawancaranya dengan seorang pria (50-an), petugas kebersihan kota. Berita yang semata-mata membela kepentingan si Narasumber dan kawan-kawannya sesama petugas kebersihan itu, dimuat lengkap dengan potonya. Poto saat narasumber menyapu di salah satu jalan di Kota Pekanbaru.
Namun, saat koran beredar, justru heboh. Pria yang di dalam berita menyebut dirinya tidak menerima gaji yang layak dan malah sering tersendat-sendat itu, mencarisi Wartawan ke kediamannya. Pagi-pagi sekitar pukul 5.30 WIB, YM terpaksa melarikan diri, lewat jendela belakang rumah sewaannya, setelah mengintip dari celah dinding rumah, si Pria menggedor keras pintu rumahnya, dengan sebilah parang terhunus. “Mana wartawan kurang ajar itu?” tanyanya dengan suara keras.
Tinggal isteri si Wartawan dengan wajah pucat, menanyakan apa yang terjadi terhadap suaminya. “Suami ibu memberitakan saya di koran. Saya tidak tahu dia itu wartawan. Sekarang saya diberhetikan majikan saya,” katanya. Begitulah. Lama juga YM merasa terusik karena diuber-uber. Hingga akhirnya masalah itu terhenti begitu saja. “Terserahlah! Saya hanya ingin menolong dia. Jika saya sebut saya wartawan, dia tak mau bicara tentang masalah mereka,” kata YM.
Tidak selamanya niat baik berbuah baik. Dalam kasus seperti ini, sebaiknya wartawan menempuh cara lain agar informasi diperoleh. Butuh upaya lagi, butuh waktu lagi. Harus bersabar, memang. Kesabaran sering sekali, buah dari profesionalisme. Toh, dalam kondisi demikian Anda sebagai wartawan tidak boleh menyuap seseorang agar Anda mendapatkan informasi. Cara ini dilarang sama sekali. Menyuap, disuap. Menyogok, disogok, bukan bagian sikap seorang wartawan.
Wartawan memang butuh strategi. Strategi jitu yang dimainkan dalam profesinya, dengan tetap berada pada koridor kode etik. Tidak menyuap, tetap menghargai privasi seseorang dan selalu menunjukkan identitas serta memberitahu narasumber.
Pada Pasal 2 KEJI ini soal perimbangaan dan asas keadilan kembali dituntut. Khususnya soal pemuatan teks poto pendukung atau poto dan gambar rekayasa pendukung berita dan tayangan harus berimbang dari pihak-pihak yang dimuat poto dan gambarnya. Jangan mentang-mentang dalam poto, ada poto pejabat dan penguasa, lebih besar porsi keterangannya, sementara orang-orang “biasa” tidak dibuat teks-nya sama sekali. Juga menyangkut berita-berita kasus. Harus ada perimbangan kedua belah pihak.
Hal terpenting lagi, harus menghargai pengalaman traumatika seseorang, yang mungkin pernah merasa “tertekan” jiwanya akibat pemuatan potonya di media. Pertimbangkan juga kepentingan orang. Orang-orang yang pernah trauma, bisa berdampak jangka panjang bagi perkembangan jiwanya. Intinya, jangan selalu menempuh jalan tol, jika tujuannya agar Anda lebih mudah mendapatkan informasi. Pikirkan dampaknya. Intinya, hanya, cara-cara profesional yang membuahkan produk jurnalisme profesional. Masalahnya, sederhana: Akui Anda seorang wartawan.
Faktual, sumbernya jelas.
Wartawan profesional adalah wartawan yang menulis berdasarkan fakta. Bukan menulis isu dan gunjingan orang. Tugas wartawan, sesungguhnya, merekonstruksi kembali fakta-fakta sebuah peristiwa. Artinya, ada dulu peristiwanya, kemudian wartawan akan menulis fakta di balik peristiwa itu.
Tentu saja, tidak semua, atau sangat jarang, peristiwa terjadi di depan mata wartawan. Itu artinya wartawan harus merekonstruksi fakta-fakta peristiwa itu, dari hasil reportase dan saksi mata atau sumber berita yang mengetahui persis jalannya peristiwa itu. Apapun berita yang ditulis harus faktual. Berdasarkan fakta semata, dan sumbernya harus jelas.
Menulis berita pembunuhan misalnya. Jangan hanya, menjadikan polisi sebagai sumber berita. Sebab, polisi tentu saja tidak melihat peristiwa itu terjadi. Polisi hanya pihak yang dilapori. Kemudian menerima laporan berupa informasi peristiwa, dari orang-orang yang belum tentu, sepenuhnya jujur memberi laporan kepada polisi.
Dan bisa juga, ada kalanya, polisi perlu “menyembunyikan” informasi untuk sementara, demi kepentingan penyidikan. Untuk itu, harus mencari sumber yang jelas, agar berhasil mendapatkan informasi peristiwa pembunuhan itu. Apakah di lokasi kejadian, dari saksi mata, pihak keluarga dan sebagainya. Lantas, cek lagi dengan pelaku, jika sudah tertangkap dan ditahan polisi. Artinya, wartawan hanya menghasilkan berita faktual dan sumbernya jelas. Bagaimana pembunuhan itu dia lakukan, menurut versi dia.
Apapun yang ditulis harus berdasarkan fakta melalui narasumber yang jelas orangnya, identitasnya dan kredibilitasnya. Jika meminta tanggapan dengan pengamat atau komentar anggota dewan misalnya, harus didahului fakta yang terjadi di lapangan. Jadi, si Wartawan meminta komentar harus berdasarkan fakta yang terjadi. Bukan atas isu yang berkembang. Apalagi, mengembangkan isu melalui komentar orang-orang yang berambisi tampil di media massa. Cara ini, bukan cara wartawan profesional.
Saat ini lagi “ngetren” media yang mengembangkan pemberitaan isu yang lagi hangat. Fakatnya, belum tentu jelas, tapi sudah dikembangkan melalui komentar-komentar pengamat. Sebenarnya, pengamat tidak pula salah. Mereka didatangi dan diwawancarai. Jika mereka tidak berkomentar, nanti dinilai wartawan tidak mendukung kinerja pers. Akhirnya, berkembanglah isu dan melibatkan orang-orang intlek pula. Padahal, kadang kala, faktanya belum ada. Baru sebatas isu.
Jangan jadi plagiator.
Plagiat artinya menjiplak. Plagiator berarti mencuri hasil karya orang lain, kemudian dinyatakan sebagai hasil karya sendiri. Tidakan ini merupakan tindakan sangat tidak terpuji dan memalukan. Untuk itu, seorang wartawan sangat dilarang melakukan plagiat. Baik atas hasil tulisan, apalagi berupa hasil kinerja jurnalistik. Wartawan profesional, tidak pernah melakukan tindakan plagiat.
Di era teknologi informasi saat ini, saat informasi begitu mudahnya diakses lewat internet, tindakan plagiat, memang punya peluang. Seorang wartawan bisa dengan mudah meng-klik di komputer sudah berhasil mengambil berbagai materi tulisan atau hasil karya jurnalistik orang lain. Namanya, mencuri, tidak pula langsung ketahuan. Sehingga, membuat para plagiat doyan.
Tetapi, percayalah! Kecurangan, suatu saat, pasti terungkap. Betapa memalukannya, andai seorang wartawan ketahuan menjimplak hasil karya orang lain, demi kepentingan diri sendiri. Malah, bisa berdampak lebih parah, saat pemilik karya menggugat sebagai tindakan pidana sesuai UU Hak Cipta. Dendanya Rp 500 juta, lo?!
Tindakan plagiat juga bukti ketidakjujuran dan kemalasan. Dua sifat yang sangat bertentangan dengan sikap seorang wartawan profesional. Seorang wartawan profesional adalah wartawan jujur dan pekerja keras. Sekali lagi: Jujur dan pekerja keras. Tanpa dua sikap ini, tidak mungkin seseorang menjadi wartawan sukses. Sukses berarti menjauhi tindakan pencurian seperti melakukan penjiplakan alias plagiator. Itu memalukan!
7. Anda, Bukan
Seorang Hakim...
Wartawan Indonesia, selalu menguji kebenaran informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi serta menerapkan asas praduga tak bersalah. (Pasal 3 KEJI)
Wartawan menulis berdasarkan fakta. Wartawan menulis berita berdasarkan keterangan sumber berita yang jelas. Bukan menulis berdasarkan penafsiran sendiri. Apalagi, menuliskan berdasarkan opini (pendapat) pribadinya sendiri. Sama sekali tidak dibenarkan. Itu sama dengan “menghakimi” atau memberi vonis atas suatu peristiwa. Anda seorang wartawan. Bukan seorang hakim.
Beda dengan interpretasi wartawan atas fakta-fakta peristiwa atau lebih lazim disebut opini interpretatif. Opini interpretatif ini, diperlukan untuk menulis reportase atau deskripsi atas sebuah peristiwa atau kejadian, yang memang sesuai fakta-fakta di lapangan. Contohnya, seorang wartawan menuliskan gambarannya atas terjadinya sebuah kecelakaan. Apakah dia menulis berdasarkan apa yang dilihatnya. Atau menulis deskripsi atas penuturan sumber yang menyaksikan peristiwa itu. Hal seperti ini dibenarkan.
Pendeskripsian demikian bisa diperoleh jika si Wartawan melakukan pengujian kembali atas informasi. Untuk itulah seorang wartawan harus bersikap skeptis. Tidak langsung percaya atas informasi yang diperolehnya. Tetapi sebaiknya, terlebih dulu menguji kebenarannya. Melakukan chek and rechek ke pihak-pihak, yang diduga mengetahui atau terlibat dalam peritiwa yang dimaksud informasi tersebut.
Apakah memang benar adanya, sesuai informasi awal yang diperolehnya. Atau malah justru sebaliknya. Tugas memeriksa dan menguji kembali inilah yang menjadi tolok ukurnya. Bisa dibayangkan andai seorang wartawan memberitakan sebuah peristiwa yang dia sendiri tidak menguasai informasi peristiwa itu. Padahal, dari sebuah berita--pembaca harusnya mengetahui informasi sebuah peristiwa memang benar-benar terjadi--setelah membacanya.
Dalam kinerja jurnalistik, istilah chek and rechek ini, juga lazim disebut dengan istilah meminta konfirmasi (meminta pembenaran) atas masalah yang ditulis. Melakukan tugas “meminta konfirmasi” menjadi suatu keharusan, sesuai amanah Pasal 1 KEJI, juga di ulangi di Pasal 3 KEJI ini. Yakni, asas perimbangan, tampaknya merupakan hal penting melalui kata “berimbang” yang dalam penafsirannya memiliki maksud memberikan ruang dan waktu pemberitaan masing-masing pihak secara proporsional.
Kehati-hatian wartawan sangat perlu menghindari terjadinya trial by the press: penghakiman lewat pers. Jika ini dilanggar, bukan hanya pelanggaran terhadap kode etik, juga bisa merembes terhadap pelanggaran undang-undang. Itu artinya, seorang wartawan bisa terjebak tindak pidana. Masalhnya, bisa lebih runyam, jika kemudian kelak berujung pada proses hukum dan gugatan perdata.
Untuk itu pula, asas paraduga tak bersalah meski diterapkan. Yang dalam kinerja jurnalistik ditafsirkan sebagai tindakan wartawan yang tidak menghakimi seseorang melalui berita yang ditulisnya. Begitu sempurnanya etika kinerja jurnalistik, sebagai upaya menjaga hak-hak asasi orang lain agar tidak turut dikorbankan dalam semua rangkaian kinerja jurnalistik ini. Seperting apapun informasi yang harus disampaikan, menjaga hak asasi dan kehormatan seseorang, ternyata jauh lebih utama.
Seorang pembunuhpun yang nyata-nyata melakukan pembunuhan di depan mata kepada si Wartawan, toh si Wartawan tidak dibenarkan menulis berita dengan memvonnis yang bersangkuatan melakuakn pembunuhan. Harus disertai kata diduga. Jika sudah dinyatakan sebagai tersangka, harus disebut tersangka pembunuhan, jika sudah diadili, ditulis sebagai terdakwa pembunuhan, jika sudah diputus pengadilan dan yang bersangkutan menerima putusan atas hukumannya (incratch), misalnya, barulah dia disebut sebagai terpidana pembunuhan.
Nah, bagaimana jika terdakwanya banding ke pengadilan tinggi? Dia disebut sebagai terdakwa pembunuhan berstatus banding. Sampai kemudian dia melakukan kasasi pun, ditulis sebagai terdakwa pembunuhan berstatus kasasi. Dia kemudian ditulis sebagai terpidana pembunuhan jika telah menerima putusan hakim di tingkat pengadilan manapun. Hal ini sangat penting diperhatikan, agar tidak sampai melanggar asas parduga tak bersalah.
Penerapannya sama buat peristiwa lainnya. Tidak hanya berlaku terhadap kasus kejahatan. Juga menyangkut kasus-kasus lain, seperti bencana alam, penyaluran bantuan, wabah penyakit, kecelakaan dan sebagainya. Jangan sekali - kali menghakimi berdasarkan opini dan pendapat sendiri. Jika Anda tidak mengetahui masalah, silakan hubungi atau wawancara pihak berwenang dan orang yang paham akan masalah itu.
Jika Anda tahu persis persoalannya pun, tak dibenarkan membuat opini sendiri. Gunakan sumber berita kompeten dan yang jelas identitasnya. Mintai komentarnya atas peristiwa itu. Anda seorang wartawan yang bertugas merekontruksi peristiwa sekaligus meminta komentar orang berkompeten atas peristiwa itu. Anda tidak berhak memberi vonnis atas peristiwa yang Anda tulis. Sebab, Anda bukan seorang hakim. Yang mengubah pena jadi palu.
8.Hindari Bohong,
Fitnah, Sadis
dan Cabul
Wartawan Indonesia, tidak membuat berita bohong, fitnah sadis dan cabul. (Pasal 4 KEJI)
Lagi-lagi kejujuran wartawan diuji di pasal ini. Kebohongan salah satu tindakan tidak terpuji. Jika seorang wartawan membuat berita yang dia sendiri sudah tahu sebelumnya bahwa fakta sebenarnya tidak seperti yang dia tulis, berarti dia telah menulis berita bohong.
Kebohongan seperti ini, harus diakui, sering dilakukan wartawan. Terlebih wartawan yang ingin membesar-besarkan masalah, agar berita itu lebih menarik dan menghebohkan. Dia sengaja membuat peristiwa itu kelihatan lebih parah dari yang sesungguhnya. Tujuannya, agar dia dinilai telah memperoleh berita besar. Padahal, dia sendiri berbohong.
Kebohongan disini, kerap kali bukan kebohongan sesungguhnya. Tetapi, bisa dari berita yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Misalnya, seorang penjembret ditulis menendang korban sesaat setelah dia berhasil merampas tas milik korban. Padahal, fakta sesungguhnya, bukan demikian. Justru si Korban yang menendang sepeda motor jambret hingga korban terelanting ke dalam paret. Yang berkibat luka-luka di bagian wajah dan kepalanya.
Tetapi wartawan mungkin tidak menulis berdasarkan fakta. Wartawan yang mungkin ingin pembaca lebih manruh kebencian kepada pelaku menulis rekonstruksi atas kebohongan. Sehingga terkesan, luka-luka pada tubuh korban akibat tendangan penjambret. Hal seperti ini, masuk kategori bohong. Dan tidak dibenarkan. Meski penjambret adalah seorang penjahat, toh wartawan tidak seenaknya, membuat kebohongan atas perilakunya.
Sebab, kebohongan demikian, bisa jadi berdampak panjang. Jika kemudian si Penjambret ditangkap dan diadili, dan penegak hukum sempat pula terpengaruh berita bohong tadi, tentu ada dua kesalahan yang ditimpakan kepada Si Penjambret sekaligus penyebab luka-luka yang diderita korban. Tulislah apa adanya, sesuai fakta. Jangan berbohong, jangan menulis berita berdasarkan kebencian.
Kebohongan juga bisa muncul dari kemalasan. Wartawan yang malas melakukan reportase, atas sebuah peristiwa, cenderung mereka-reka kejadian. Seperti sering terjadi pada berita yang ditulis hanya berdasarkan keterangan seorang narasumber. Misalnya berita tentang tewasnya seorang buruh pabrik batu-bata karena diduga tertimbun tanah saat menggali bahan bata.
Seorang wartawan yang malas melakukan reportase ke lokasi kejadian, biasanya hanya meminta informasi dari polisi. Polisi juga akan memberi info sesuai pengetahuannya atas peristiwa itu. Kita yakini, polisi yang tidak pula turun ke lokasi, tentu sangat terbatas pengetahuannya tentang peristiwa itu. Saat wartawan bertanya tentng kronologisnya, mungkin saja polisi tidak tahu.
Si Wartawan yang enggan ke TKP, kemudian langsung menulis beritanya. Sementara dia akan menulis reka-reka alias kebohongan atas fakta kronologis kejadiannya. Ia akan membuat perkiraan dia sendiri, berupa opini, hingga jalannya peristiwa yang menyebabkan korban tewas tertimbun tanah longsor, terkesan lebih logis. Padahal, faktanya tidak demikian. Ini sama saja dengan bohong.
Padahal, jika dia sedikit berkorban waktu dia bisa ke TKP melihat lokasi kejadian dan mewawancarai orang-orang sekitar TKP. Pastilah mereka itu lebih tahu fakta yang terjadi. Karena mereka saksi mata peristiwa itu. Dengan demikian si Wartawan akan terhindar dari kemungkinan bohong. Karena telah mendatangi langsung TKP dan para sumber utama peristiwanya.
Berita Fitnah.
Berita fitnah, berarti berita yang ditulis atas tuduhan tanpa dasar yang dilakukan seseorang secara sengaja dengan niat buruk. Menuduh seseorang melakukan suatu kesalahan atau kejahatan kemudian diberitakan di media massa, tidak pula dilengkapi konfirmasi dengan pihak tertuduh, ini benar – benar berita fitnah.
Hal-hal berbau fitnah tidak boleh diberitkan wartawan. Jangankan dilengkapi konfirmasi dari pihak tertuduh, tuduhan tanpa dasar yang lengkap dengan konfirmasinyapun tidak boleh disiarkan, karena masuk dalam kategori fitnah. Biasanya, berita fitnah muncul karena wartawannya menggantungkan kepentingan atas pemuatan berita itu. Tanpa itu, tak mungkin sesuatu yang bersifat fitnah berubah jadi berita.
Sebut saja berita tentang propaganda saat wartawan telah dititipi sejumlah uang. Dengan menerima sejumlah uang, apapun dia lakukan atas bayaran uang yang diterimanya. Bulan Januari 2009, sebuah surat kabar terbitan Pekanbaru, memuat berita hasil ekspose sebuah instansi. Pejabat di instansi itu menyebut pihaknya telah membantu sejumlah dana kepada seorang pengusaha ekspor hasil pertanian.
Berita terbit, suasana heboh. Setidaknya, menghebohkan si Pengusaha, yang ternyata tidak pernah merasa dibantu oleh si Pejabat. Seorang wartawan dari media yang saya pimpin, melakukan chek and rechek ke semua sumber yang terlibat dalam pemberitaan itu. Mulai dari pengusaha, pejabat sampai ke wartawan yang menulis beritanya.
Akhirnya, saat diwawancarai si Wartawan yang memuat berita itu, mengakui, dia menerima informasi utuh berupa tulisan dari si peabat. Dan tulisan itu dimuat utuh tanpa lebih dulu meminta konfirmasi ke pengusaha. “Terus terang, saya hanya menerima tulisan dan dimuat utuh,” kata si Wartawan. Pertanyaannya, kenapa si Wartawan mau berita itu dimuat menggunakan namanya sebagai penulis berita, padahal fakta yang ditulisnya tidak benar? Bukankah ini fitnah?
Tentu saya tidak berani menuduh si Wartawan telah menerima uang dari si Pejabat. Saya hanya mempertanyakan: kok tega-teganya memuat berita fitnah tanpa lebih dulu meminta konfirmasi ke pihak pengusaha sebagai “korban”? Ini salah satu contoh kasus. Masalah -masalah politik, tampaknya mendominasi hal-hal seperti ini. Namun, semuanya berpulang kepada si Wartawan. Yang dalam kode etik, memang dilarang memuat berita fitnah.
Jauhi berita dan poto cabul
Jauh-jauh hari sebelum disahkannya Undang – Undang Anti Pornografi Tahun 2008, kode etik jurnalistik telah melarang wartawan menulis berita cabul alias porno. Namun, wartawan yang melanggar etika ini, apa boleh buat, masih terus mempertontonkan karya - karya jurnalistiknya di berbagai media massa. Tampaknya, karya jurnalistik berbau porno itu didominasi pemuatan gambar. Baik di media cetak maupun di media elektronik gambar, seperti tele visi.
Dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999 Pasal 5 Ayat 1:
Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini diatur dalam Pasal 18 Ayat 2, berupa pidana denda paling banyak Rp 500.000.000. (lima ratus juta rupiah).
Wartawan sebagai ummat beragama, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan yang berkembang di tengah masyarakat. Meskipun hal ini masih bisa berdalih bahwa tidak semua hal yang porno di sebuah daerah sekaligus merupakan hal porno pula di daerah lain. Lain lubuk, tentu lain pula ikannya.
Tetapi pemahaman terhadap hal-hal berbau porno harus benar-benar menjadi perhatian. Jangan sampai, akibat pemberitaan yang berbau porno rasa kesusilaan masyarakat, jadi terusik.
Karena dalam kode etik masalah pornografi tidak diatur batasan–batasannya dengan jelas, baiknya merujuk kepada pengertian pornografi dalam undang-undang yang mengaturnya. Dalam Pasal 1 UU Anti Pornografi No. 44 Tahun 2008, dijelaskan pengertian pornografi:
Gambar, sketsa, illustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan jasa pornografi dalam undang-undang itu:
Segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
Pelanggaran terhadap ketentuan itu, termasuk menyiarkannya di mesdia massa, diancam sanksi pidana dan dan denda. (Untuk lebih jelas lihat: UU No.44 tahun 2008)
Dengan adanya batasan yang jelas, wartawan perlu memahami dan memperhatikan masalah pornografi ini lebih serius. Wartawan profesional dan memiliki integritas, tentu saja, bukan wartawan cabul dan wartawan porno. Yang mencoba membangkitkan berahi pembaca lewat kinerja jurnalistiknya. Hindari ini, karena bertentangan dengan etik jurnalistik.
9.Lindungi Korban Susila
Hargai Anak, Pelaku Kejahatan
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan (Pasal 5 KEJI)
Karena dorongan mendapatkan informasi akurat dan lengkap, sering wartawan menuliskan identitas lengkap orang-orang yang menjadi objek pemberitaannya. Padahal, khusus penulisan berita kejahatan ada kekecualian. Pengecualian itu berlaku bagi korban kejahatan susila. Dan, meskipun pelaku kejahatan, jika masih anak-anak, tidak boleh ditulis identitasnya.
Dalam penafsiran Pasal 5 KEJI dijelaskan:
Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. Sedangkan yang dimaksud “anak” adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Penjelasan dalam penafsiran itu, sesungguhnya sudah bisa jadi rujukan. Menaati kode etik, tidak mungkin sempurna, jika hanya membaca teks pasal demi pasal. Harus dibaca dan dipahami penjelasan seperti tertera dalam penafsirannya. Pemahaman sekilas, bisa mengakibatkan kerugian bagi orang lain sekaligus pelanggaran terhadap kode etik. Ada banyak kasus sebagai bukti ketidaktaatan terhadap imbauan ini.
Pelanggaran Pasal 5 KEJI, sering dijumpai pada penulisan–penulisan berita kriminalitas, khususnya menyangkut korban susila dan pelaku kejahatan yang dilakukan seorang anak. Ada kalanya pelanggaran itu tidak total. Artinya, seorang wartawan yang menulis berita tentang kejahatan susila, memang, tidak menuliskan nama lengkap korban. Namun, mungkin juga tanpa disadarinya, identitas korban tetap saja tertera dalam berita itu.
Sebagai contoh. Seorang gadis usia 15 tahun menjadi korban pelecehan seks seorang pria berusia 24 tahun. Nama korban dalam berita tersebut, memang tidak ditulis alias disamarkan saja. Atau ada yang memendekkan nama menjadi inisial. Jika nama sebenarnya, korban susila itu adalah Rosa misalnya, wartawan mungkin akan membuat inisial dengan menyingkatkannya menjadi Rs. Pencantuman inisial atau penggunaan nama samaran, sekilas, sepertinya merupakan bukti ketaatan pada kode etik jurnalistik.
Tetapi, dalam berita itu, korban disebutkan sebagai siswi salah satu SLTP swasta di Pekanbaru. Kemudian, alamat rumah korban juga ditulis, berikut nama orang tuanya. Lantas, menuliskan peristiwanya secara detail dan lengkap. Hingga pembaca memperoleh informasi utuh atas apa yang dialami korban. Sedangkan identitas pendukung dicantumkan pula. Hal seperti ini sering terbaca di media.
Jika sudah demikian lengkapnya atribut dicantumkan, apakah ini tidak sama saja dengan menulis identitas korban kejahatan susila? Padahal Pasal 5 KEJI, melarang hal seperti itu. Sebab, pengertian identitas itu, bukan hanya menyangkut nama lengkap. Juga segala sesuatu yang membuat orang lain bisa terbantu untuk melacaknya.
Demikian halnya dengan kejahatan yang dilakukan orang yang belum dewasa. Yakni, belum berusia 16 tahun atau belum menikah. Mereka ini, kenyataannya, sering menjadi “korban” pemberitaan. Ada juga pengaruh “kebencian” wartawan, tampaknya dalam masalah ini. Unsur subjektivitas, sering turut mewarnai berita yang ditulis. Padahal, menurut etika, seorang wartawan tidak boleh menulis berita berdasarkan kebencian.
Seorang bocah yang dihajar massa saat tertangkap tangan mencuri seng bekas di halaman rumah seorang pejabat di kawasan Labuh Baru, Pekanbaru, tahun 2000 silam, identitasnya ditulis dengan lengkap oleh hampir semua media harian terbitan Pekanbaru. Padahal, pelaku dugaan pencurian itu, kemudian diketahui adalah seorang anak yatim, baru berusia 11 tahun murid kelas IV SD.
Jika ditilik dari sisi kemanusiaan, betapa dahsyatnya keberingasan massa yang ditimpakan ke tubuh ringkih bocah ini. Seorang bocah bertubuh ceking berpaian kusam, yang tidak memiliki alternatif lain memenuhi kebutuhannya. Terpaksa menerima perilaku tidak manusiawi dari sekelompok orang “kuat’. Namun, lebih dahsyat pula”penghakiman” pers yang dierimanya secara serentak keesokan harinya.
Saat peristiwa itu terjadi, saya bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Harian Media Riau, Pekanbaru. Seorang reporter, kemudian saya tugasi melakukan investigasi untuk mengetahui siapa sebenarnya bocah ini. Kenapa pula dia mencuri? Hasil investigasi itu, ternyata mengharukan juga. Ternyata, ia mencuri untuk membayar uang sekolahnya dan uang sekolah adeknya yang duduk dibangku kelas III SD. Ibunya, seorang tukang cuci pakaian tetangga, tidak punya dana memenuhi tuntutan uang sekolah kedua anaknya.
Dalam tatanan etik jurnalistik, korban susila dan kejahatan yang dilakukan anak – anak, sesungguhnya, memiliki tempat khusus yang harus dilindungi dan dihargai. Perlindungan di sini bukan berarti menutupi semua informasi menyangkut korban. Tetapi, yang utama adalah penyembunyian segala identitas menyangkut dirinya, pribadinya dan semua atribut yang memudahkan orang mengenalinya, agar korban tidak merasa malu dan trauma karena merasa telah dikenali orang lain, akibat pemberitaan tersebut.
Unsur kemanusiaan demikian pula yang menempatkan anak–anak pelaku kejahatan berada pada posisi “dihargai”. Penghargaan tentunya bukan pada aspek kejahatan yang dilakukannya. Tetapi, lebih pada upaya menghindari, si Anak kelak traumatis atas apa yang dia lakukan. Dan kerap kali, kejahatan anak–anak, bukanlah cerminan perilaku penjahat sesungguhnya.
Untuk itu, sebagai seorang wartawan: Lindungi korban susila, hargai anak pelaku kejahatan.
10. Hindari “Amplop” &
Waspadai Pemberian
Wartawan Indonesia, tidak menerima suap
dan tidak menyalahgunakan profesi. (Pasal 6 KEJI)
Tidak ada persoalan paling pelik selain masalah amplop. Begitu populernya istilah ini di kalangan pers. Sampai-sampai, tip berupa uang tunai yang diberikan narasumber kepada wartawan diidentikkan dengan amplop. Karena, sejumlah uang pemberian itu, memang dimasukkan dalam amplop.
Dalam kode etik jurnalistik, memang tidak ada larangan menerima amplop atau sejenis pemberian. Yang dilarang adalah tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi. Jika dilihat penafsirannya, yang dimaksud dengan suap adalah segala bentuk pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempenagruhi independensi.
Rasanya batasan suap dalam penafsiran kode etik ini dipersempit saja. Sebab, jika semata–mata bersandar pada pengertiannya, batasan pengertian suap lebih longgar. Hal-hal yang berhubungan dengan pemberian narasumber bisa ditafsirkan bukan suap. Akibatnya, wartawan akan menyiasati batasan tersebut. Dan, malah lebih doyan menerima pemberian dari pihak lain.
Memang benar. Sepanjang pemberian itu tidak memengaruhi independensi wartawan, tidak masuk dalam kategori suap. Namun, satu hal yang perlu dipertanyakan: apakah mungkin independensi seorang wartawan tidak terpangaruh jika dia sudah menerima uang dalam jumlah besar misalnya, dari seorang narasumber? Saya kira, ini satu hal yang perlu diwaspadai seorang wartawan.
Masalahnya, apapun dalihnya, setuju atau tidak, yang namanya pemberian, akan berdampak buruk bagi sikap dan kreativitas wartawan. Malah, bisa dikatakan akan sangat merusak citra wartawan itu sendiri. Banyak bukti-bukti yang terjadi. Dan akibatnya, memang sangat merusak kinerja wartawan. Padahal, dia tidak melanggar kode etik seperti diamanahkan Pasal 6 KEJI ini. Sebab, batasan suap dalam pengertian kode etik itu adalah yang tidak memengaruhi independensi wartawan.Toh, yang namanya pemberian, apalagi dalam bentuk uang, ternyata tidak sederhana. Pemberian pasti berpengaruh.
Contohnya, seorang wartawan saat meminta konfirmasi dugaan penyelewengan atau dugaan kejahatan yang dilakukan seseorang. Pada saat itu, orang yang berposisi sebagai terkonfirmasi itu, dengan cara halus menawarkan pemberian sejumlah uang, tetapi dia mengatakan pemberian itu tidak akan memengaruhi indpendensi wartawan yang meminta konfirmasi kepadanya.
Lantas, si Wartawan menerima pemberian, karena memang tidak akan memengaruhi berita yang akan ditulisnya. Berita, kemudian ditulis dan dimuat di media. Dugaan kejahatan atau penyelewengan si Narasumber itupun, terbeber kepada khalayak. Artinya, si Wartawan, sesuai kode etik jurnalistik, sudah menjalankan tugasnya dengan benar. Namun, apakah persoalan kemudian selesai?
Rasanya belum. Justru bisa menjadi awal persoalan baru dan memakan waktu panjang, melelahkan. Sebab, jika seseorang merasa terancam akibat pemberitaan itu, dia akan bertindak, untuk melindungi dirinya. Seperti kata pepatah: Saat seseorang akan tergelincir di tebing yang curam, apapun akan dia jadikan sebagai pegangan. Artinya, dalam kasus pemberian uang tadi, bisa jadi dia akan menyebut bahwa dia sebenarnya telah memberikan sejumlah uang kepada wartawan. Kok masih diberitakan?
Yang lebih parah, justru wartawan kerap kali mendatangi seseorang yang berkasus lantas meminta imbalan dengan jaminan tidak akan terbeber kasusnya di media. Tahun 1994, saat saya memulai karir di Majalah FORUM Keadilan, seorang wartawan menjamin kepada seorang pengusaha, bahwa kasus moral si Pengusaha tidak akan diekspos media massa. Si Wartawan kemudian menerima sejumlah uang.
Namun, jaminan itu tidak ampuh. Saya yang saat itu mengawali karir di media besar, menulis kasus si Pengusaha, karena seorang wanita yang diduga korban si Pengusaha ini, sangat menderita. Begitu kasus tersiar, istri si Pengusaha mendatangi wartawan yang berlagak back king-an itu. “Tolong tanggalkan ban mobilmu ini sekarang, karena dana untuk membeli ban mobilmu ini dari uang yang saya berikan dulu,” kata istri si Pengusaha marah-marah, seraya menendangi ban mobil si Wartawan.
Sangat banyak persoalan yang mencuat dari “per-amplop-an” ini. Karena masalah amplop, pemberian, hadiah jatah dan sebagainya, dalam profesi wartawan memang sangat rentan. Ada aliran yang menyetujui peneriamaan amplop atau pemberian narasumber buat wartawan. Golongan wartawan demikian menilai sepanjang tidak memengaruhi pemberitaan, pemberian sah-sah saja. Dalihnya, batasan penafsiran kode etik tadi.
Tetapi ada juga kelompok wartawan, meski sedikit, yang sangat tegas dengan penolakan amplop ini. Apapun dalihnya kelompok wartawan ini tetap menolak dengan tegas segala bentuk pemberian dari narasumber. Sebab, mereka menganggap, yang namanya pemberian pasti akan mengusik objektifitas penulisan berita. Harga diri seorang wartawan, bsia dilihat dari apakah dia menerima amplop tau tidak.
Yang paling penting sebenarnya, sebagai wartawan kita mesti paham dampak buruk pemberian narasumber. Mengikat atau tidak, kalau bisa, hindari saja.
Jangan salahgunakan profesi!
Penyalahgunaan profesi, tentu saja bukan monopoli wartawan. Banyak oknum dari profesi lain seperti dokter, guru, dans ebagainya menyalahgunakan profesinya demi kepentingan pribadi dan kelompok. Dalam kode etik jurnalistik yang dimaksud penyalahgunaan profesi adalah mengambil keuntungan dari informasi sebelum informasi itu diberitakan di media.
Penafsiran ini tampaknya sudah jelas memberi larangan kepada wartawan agar jangan sekali-kali memanfaatkan informasi sebelum informasi disiarkan kepada khalayak pembaca. Sebenarnya, informasi yang diburu kemudian sudah dalam genggaman wartawan telah menjadi milik masyarakat. Wartawan bekerja untuk memenuhi keingintahuan masyarakat, dengan demikian semua bentuk informasi yang dia peroleh harus disiarkan kepada masyarakat pembaca.
Penyalahgunaan profesi muncul sebagai wujud penyelewengan atas tugas dan kewajiban wartawan yang telah berhasil mendapatkan informasi dari masyarakat juga. Informasi yang diperoleh dari tengah-tengah masyarakat mesti dikembalikan kepada masyarakat dalam kemasan berita jurnalistik.
Bukan sebagai objek untuk mendapatkan keuntungan pribadi, sehingga informasi tersebut akan bias dan malah tidak disirkan sama sekali. Jika ini yang dilakukan, berarti pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik.
Disinilah strategisnya peran jurnalisme. Sebagai profesi yang bekerja untuk kepentingan umum, seorang wartawan tidak dibenarkan mengambil manfaat dari informasi yang diperolehnya, meskipun atas perintah dari pihak perusahaan atau penerbitan tempatnya bekerja. Informasi yang diperoleh harus disiarkan utuh kepada masyarakat. Hak memperoleh informasi merupakan wujud hak asasi manusia yang dimiliki setiap warga negara Indoensia.
Namun, tidak jarang terjadi penyalahgunaan profesi khusunya pemanfaatan dan penyembunyian informasi oleh oknum wartawan dan oknum pengelola media yang berkonspirasi dengan wartawan. Padahal, penyalahgunaan demikian, bukan saja melanggar kode etik jurnalistik. Juga merupakan tindakan pelanggaran terhadap UU Pers No.40 Tahun 1999, khususnya Pasal 4 yang antara lain menyebut:
Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan menyiaran. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Pelanggaran terhadap pasal tersebut dikenakan penjaran 2 (dua) tahun atau denda Rp 500 juta. Artinya, penyalahgunaan informasi yang diatur kode etik jurnalistik tadi, bisa merujuk kepada undang-undang dengan sanksi pidana.
Tetapi, semenjak deregulasi industri pers menyusul era reformasi satu dekade terakhir, bukan berarti penyalahgunaan profesi kian menurun. Malah sebaliknya, ada kecenderungan penyalahgunaan profesi itu muncul sebagai tindakan kolaborasi antara wartawan dan pengelola dan pemilik media.
Jika menggunakan cara-cara kasar, tampaknya rentan dengan jerat hukum. Jika kasus pejabat akan diberitakan misalnya, khawatir terancam delik pidana pemerasan. Jadi, kini dipilih cara-cara yang lebih halus.
Contohnya, program kontrak halaman dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. Pihak pemerintah meminta pemilik media memuat kegiatan sucses story pembangunan dengan memakai uang rakyat dari APBD. Sementara semua penyelewengan dan penyimpangan yang dilakukan oknum pemerintah tidak disiarkan lagi di media tersebut.
Terjadi juga semacam diskriminasi. Jika seorang wartawan yang akan meminta konfirmasi dengan seorang oknum pejabat yang diduga melakukan penyelewengan, malah wartawan dari media yang telah melakukan kerjasama dengan instansi si Pejabat akan muncul sebagai back king.
Lantas, si Wartawan akan digiring kepada suatu kondisi seolah–olah dia tengah merencanakan pemerasan, saat meminta konfirmasi tersebut. Bila perlu diatur skenario agar terjebak pada tindakan pidana. Aneh memang. Padahal, kejahatan yang dilakukan mereka jauh lebih dahsyat.
Wajar pula jika berita–berita seputar kejahatan yang dilakukan oknum wartawan akan diberitakan besar–besar. Sedangkan masalah pengebirian hak–hak wartawan dan tindakan yang semata–mata kolusi penyembunyian informasi lewat kontrak halaman ini, tidak pernah digubris.
Nah, bagaimana jika Anda adalah seorang wartawan yang bekerja di media yang sudah mengikat kerjasama dengan pemerintah guna mengontrak halaman koran Anda dan semua isinya atas pesanan? Inilah pertanyaan yang mungkin sulit dijawab, saat ini. Dan ini sebuah penomena yang tengah kita tonton bersama.
Tetapi, tidak ada yang mampu melawan kebenaran. Untuk itu, tetap pertahankan integritas. Pandai bersikap di tengah gelombang buruk dunia pers kita, saat ini. Jika pandai menitih buih akan selamat sampai ke seberang. Intinya, jangan ikut dalam kelompok yang menyalahgunakan profesi. Apapun dalihnya.
11. Tak Semua Fakta,
Layak Diberitakan
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan. (KEJI, Pasal: 7)
Inti dari tugas jurnalistik itu, informasi. Informasi bagi jurnalis ibarat mesin bagi sebuah kendaraan. Sedangkan informasi, umumnya, berada pada genggaman sumber berita. Tanpa bantuan narasumber, wartawan akan kehilangan informasi. Betapa strategisnya kedudukan seorang narasumber dalam tugas jurnalistik.
Untuk itu pula, kode etik jurnalistik memberi pembahasan khusus tentang keberadaan narasumber ini. Utamanya perihal perlindungannya. Jangan sampai narasumber menjadi korban akibat berniat membantu tugas wartawan. Lebih parah lagi, jika pihak keluarganya kecipratan masalah akibat pembocoran info kepada wartawan. Padahal, semua “bocoran” yang diberikannya semata-mata untuk kepentingan pemberitaan.
Ada banyak tugas jurnalistik yang diawali info narasumber. Saat seorang wartawan mendatanginya untuk meminta bocoran itu, saat itu si pemegang informasi sudah bertindak sebagai narasumber. Jika info tersebut berisi tentang tindak penyelewengan, kejahatan atau penyimpangan yang dilakukan seseorang, posisi si Narasumber menjadi riskan.
Tentu saja, sebagai narasumber, ia tidak ingin, posisinya, keberadaannya atau malah keberadaan keluarganya ikut terancam, saat informasi itu diberitakan di media massa. Artinya, ia tidak ingin menjadi “korban” akibat membantu tugas wartawan.
Pemberitaan semua data dan informasi dari seorang narasumber yang tidak bersedia ditulis identitasnya disebut informasi latarbelakang. Sednagkan off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh diberitakan atau disiarkan.
Seorang wartawan harus menghargai ketentuan off the record. Jika seorang narasumber telah menyatakan dari awal, semua informasi yang diungkapkannya adalah off the record, yah wartawan tak boleh menyiarkannya.
Jika si Wartawan tetap ingin memberitakannya, carilah sumber lain atau gunakan hak investigasi dari sumber-sumber berkompeten agar informasi itu bisa diberitakan. Jadi, tidak semua fakta layak diberitakan.
Tetapi, harus pula diperhatikan, jangan sampai narasumber yang menyatakan off the record itu terancam akibat pemberitaan Anda. Sekalipun bukan dia sumber Anda dalam berita tersebut. Dalam acara jumpa pers misalnya. Jika sudah ada bocoran bahwa keterangan dalam jumpa pers itu akan off the record, sedangkan Anda berniat juga memberitakannya, bagaimana?
Satu-satunya jalan, tidak menghadiri jumpa pers tersebut. Cari sumber lain yang berkompeten. Telusuri lagi informasinya agar lebih akurat dan lengkap. Tetapi mesti dijaga, jangan sampai ada kesan Anda memeroleh informasi dari kalangan penyelenggara jumpa pers itu. Sebab, semua ini tata Kode Etik Jurnalistik Indonesia Pasal 7 ini, bertujuan semata-mata untuk melindungi narasumber, mengingat peran seorang narasumber demikian penting dalam tugas jurnalistik.
Tetapi, ada kalanya narasumber memenipulasi fakta. Pihak penyelenggara jumpa pers sering membeberkan informasi bohong ke sekelompok wartawan. Hal itu mereka lakukan karena, jika informasi sebenarnya disiarkan, posisi mereka dalam jabatan bisa terancam. Untuk itu, mereka menggelar jumpa pers agar informasi sebenarnya tidak terungkap. Jika ini yang terjadi, sebagai wartawan jujur, lebih baik tidak usah menghadiri jumpa pers itu.
Ketika pihak Polda Riau melaksanakan jumpa pers tahun 1991, tentang kematian seorang tahanan di Mapolsekta Tampan, Pekanbaru, saya tidak mau hadir. Soalnya, saya telah mendapat bocoran sebelumnya, bahwa pihak Polda akan menyebut tahanan itu tewas akibat bunuh diri. Padahal, informasi yang saya peroleh ia tewas dianiaya.
Saya kemudian melakukan investigasi ke sumber-sumber lain. Saya menulis beritanya di SKM Genta, bahwa tahanan itu tewas dianiaya polisi. Saya mendapatkan informasi dari banyak sumber yang memang meminta saya tidak menulis identitas mereka. Saya menghargai itu.
Untung saja, tiga tahun kemudian kasusnya kembali saya beritakan berdasarkan investigasi lebih lengkap dan dimuat di Majalah FORUM Keadilan. Ternyata seiring berjalannya waktu, kasus ini terus berkembang dan banyak pula narasumber yang dulunya takut identitasnya dirahasiakan, akhirnya berani berbicara lantang di media massa. Padahal, jika tiga tahun sebelumnya, saya membeberkan identitas mereka, mungkin masalahnya menjadi lain.
Untuk menghindari terjadinya kemungkinan seperti itulah, kode etik memberikan hak istimewa kepada wartawan untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia identitasnya dibeberkan. Hak untuk melindungi narasumber itu disebut hak tolak. Yakni, hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber dan keluarganya.
Sekalipun, pemberitaan itu kelak sampai ke meja pengadilan, toh hak wartawan untuk merahasiakan identitas narasumber itu tetap dijamin hukum. Jadi, tidak ada yang harus ditakutkan. Sebagaimana disebut pada Pasal 4 ayat 2 UU Pers No. 40 Tahun 1999:
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan memiliki hak tolak.
Ada kalanya, sumber berita bersedia mengungkapkan informasi sebuah kasus misalnya. Tetapi dia meminta, agar pemberitaannya ditunda dulu. Penundaan pemberitaan ini disebut embargo. Wartawan harus mematuhi ketentuan embargo ini.
Penundaan ini, juga semata-mata untuk menghindari kemungkinan terjadinya hal lebih buruk. Baik terhadap si Narasumber maupun terhadap pihak yang diberitakan. Saat polisi sedang memburu pelaku kejahatan misalnya. Polisi meminta jangan diberitakan dulu, karena bisa mempersulit penyidikan andai yang diburu melarikan diri dari persembunyiannya.
Pada kasus lain, si Narasumber meminta embargo pemberitaan, mengingat keselamatan si Narasumber itu sendiri. Katakanlah, saat seorang mahasiswa bersedia membeberkan informasi kejahatan yang terjadi di universitasnya, tetapi dia meminta agar hal itu diberitakan setelah dia menyelesaikani kuliahnya.
Wartawan harus menghargai permintaan itu. Sebab, jika langsung diberitakan, tanpa embargo, si Mahasiswa bisa terancam studinya.
12. Prasangka & Diskriminasi
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang berdasarkan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. (KEJI Pasal 8)
Wartawan menulis fakta. Untuk memperoleh fakta wartawan perlu bersikap skeptis yaitu sikap yang tidak langsung percaya dengan sebuah informasi. Informasi perlu ditelusuri lebih dulu, sebelum menuliskan beritanya.
Skeptis tidak identik dengan prasangka. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. Hal seperti ini tidak dibenarkan kode etik jurnalistik. Sebab, berita yang ditulis berdasarkan prasangka, bsia berakibat vatal karena prasangka tidak akan sesuai denga fakta sebenarnya.
Biasanya, berita prasangka lahir dari wartawan yang malas. Wartawan yang malas melakukan investigasi, malas melakukan reportase ke lokasi kejadian peristiwa atau wartawan yang memang sengaja menulis berdasarkan parsangka karena dia punya kepentingan atas berita prasangka itu.
Ada kalanya wartawan menulis berdasarkan prasangka, karena berniat membuat heboh berita yang dia tulis. Sebuah kasus besar yang pernah mencoreng peta jurnalisme Indonesia, saat Ir. Gusman, diberitakan tewas dijatuhkan dari pesawat heli kopter. Staf di PT Preefort itu, kemudian ditemukan mayatnya mengapung di kawasan rawa Kalimantan.
Untung saja, Bondan Winarno, seorang wartawan free-lance melakukan investiasi dengan tekun dan profesional mengungkap berita bohong itu.
Ia melakukan investigasi atas dasar kecurigaannya, mayat Gusman yang ditemukan, kok masih mengapung di rawa-rawa, sementara dia dijatuhkan dari pesawat helikopter dengan ketinggian yang tidak memungkinkan bagi seseorang mengapung lagi, tetapi pasti akan terbenam. Ternyata, skeptisnya terbukti. Gusman yang warga negara Pilifina itu masih hidup, sehat walafiat, hingga saat ini tinggal di Pilifina.
Berita yang ditulis berdasarkan prasangka, masih banyak menghiasi halaman media cetak di negeri kita, juga di Riau. Berita yang ditulis tanpa konfirmasi bisa digolongkan kepada berita prasangka. Berita yang data dan faktanya kurang lengkap bisa digolongkan kepada prasangka.
Untuk menghindari terjadinya prasangka, wartawan harus menulis berita berdasarkan fakta dan data yang lengkap. Untuk mendapatkan data dan fakta yang lengkap wartawan tidak mungkin memperolehnya hanya dari seorang narasumber. Berita kejahatan misalnya, tidak layak jika hanya menerima informasinya dari kepolisian.
Lengkapi datanya dari pihak keluarga korban, keluarga pelaku, pelaku sendiri, korbannya, saksi mata dan sebagainya. Agar tidak terjebak dalam berita prasangka.
Sedangkan diskriminasi ditafsirkan sebagai perbedaan perlakuan. Jangan mentang-mentang yang akan diberitakan adalah orang yang berasal dari suku minoritas, wartawan seenanknya memberitakannya, sehingga yang bersangkutan terkesan dipojokkan dan dirugikan. Diskrimiasi sama sekali tak dibenarkan.
Merendahkan martabat orang lain juga tidak dibenarkan. Baik saat memberitakan masalah suku, agama, orang lemah, sakit, cacat jiwa maupun cacat jasmani. Sebenarnya, wartawan bisa terjebak dalam pemberitaan diskriminasi ini akibat tindakan narasumber. Misalnya saat memberitakan otonomi daerah. Ada kecenderungan putra daerah memberi hak-hak istimewa kepada putra tempatan. Di sisi lain, putra pendatang dimarginalkan.
Wartawan tidak boleh menerima apa adanya dari sikap demikian. Wartawan harus bersikap nasionalis dan harus mencari narasumber yang berperan sebagai penyeimbang dalam berita. Jika tidak berhasil mendapatkan sumber sebagai penyeimbang, tidak usah ditulis. Tidak perlu diberitakan.
13. Hormati Hak Pribadi
Narasumber
Wartawan Indonesia, menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. (KEJI Pasal 9)
Lagi-lagi, berbicara tentang kedudukan seorang narasumber. Kehidupan pribadi seseorang, tampaknya punya posisi strategis dalam kode etik jurnalistik. Strategis berarti harus dihormati sepenuhnya oleh seorang wartawan.
Menghormati berarti bersikap menahan diri dan berhati-hati. Sedangkan yang dimaksud dengan kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya. Tuntutan kehati-hatian dan menahan diri bagi wartawan guna mempertimbangkan pemberitaan atas kehidupan pribadi narasumber, sangat penting agar tidak terjadi hal-hal berbau pencemaran nama baik yang bsia menjrus ke delik pidana pencemaran.
Diakui memang, jika sudah menyangkut kehidupan pribadi sering jadi dilematis. Di satu sisi, wartawan punya kepentingan dalam pemberitaan, di sisi lain, narasumber ingin kehidupan pribadinya tidak diusik. Untuk itulah kode etik membuat pengecualian. Jika sudah menyangkut kepentingan publik, boleh diberitakan.
Dalam praktiknya sehari-hari, hal-hal demikian sering dihadapkan kepada seorang wartawan. Masalahnya, informasi yang meyangkut seseorang, jarang pula yang tidak berkaitan dengan kehidupan pribadinya. Untuk itu, wartawan mesti bsia membuktikan bahwa kehidupan pribadi yang menyertai pemberitaan itu benar-benar untuk kepentingan publik.
Ada baiknya diajukan contoh tentang kasus korupsi yang dilakukan seorang pejabat. Mungkin, si Pejabat yang diduga melakukan korupsi itu, beritanya perlu dilengkapi dengan kehidupan pribadinya sepanjang kehidupan pribadi yang diberitakan itu ada kaitannya dengan kepentingan publik.
Jika hasil korupsi itu, ternyata sebagian digunakannya untuk membeli mobil mewah buat putrinya yang kuliah di sebuah peguruan tinggi, sedangkan itu didapatkan dari mengorup daa bea siswa yang seyogianya diperuntukkan bagi mahasiswa yang tidak mampu, ini tentu layak ditulis. Kiranya sikap demikian, merupakan kehidupan pribadi yang tidak manusiawi.
Menghormati kehidupan narasumber sangat penting. Namun, jika semata-mata ditujukan untuk kepentingan yang lebih luas, yakni kepentingan publik, tidak pernah ada salahnya untuk diberitakan. Namun, tentu saja, pemberitannya sesuai prosedur yang dituntut kode etik jurnalistik. Berhati-hati, penulisan mesti berimbang, tidak berittikad buruk. Dan, harus dilengkapi dengan konfirmasi.
14. Perbaiki Kesalahan
&
Segera Minta Maaf
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permhonan maaf kepada pembaca, pendengar dan pemirsa. (Pasal 10 KEJI)
Kita para wartawan mesti mengakui, bahwa kita masuk dalam golongan orang yang sulit mengakui kesalahan. Apalagi untuk mohon maaf. Padahal, kedua sikap itu merupakan sikap yang sangat terpuji. Untuk itu, harus dimiliki seorang wartawan yang baik.
Segera memperbaiki kesalahan dalam penulisan berita. Apakah berita itu, ternyata salah, keliru, tidak akurat dan sebagainya. Harus sesegera mungkin dilakukan oleh wartawan. Yang dimaksud dengan “segera” disini yakni secepat mungkin dilakukan baik karena teguran maupun tidak ditegur sama sekali oleh pihak luar.
Jelasnya, jika yang melakukan kesalahan adalah wartawan media harian, jika masih memungkinkan, ralat dan perbaikan itu segera dimuat keesokan harinya. Dan ingat! Harus disertai dengan kata permohonan maaf. Jika kesalahan itu dilakukan oleh wartawan media cetak harus disertai dengan kata permohonan maaf kepada pembaca. Jika di media radio harus disertai permohonan maaf kepada pendengar. Jika di media televisi harus disertai dengan permhonan maaf kepada pemirsa.
Seperti dijelaskan, wartawan mendapat informasi dari masyarakat kemudian dikembalikan dalam bentuk berita kepada masyarakat melalui media si Wartawan bekerja. Wajar jika ternyata terjadi kesalahan, yang berakibat merugikan seseorang atau pihak tertentu, segera diperbaiki. Memperbaiki saja tidak cukup. Sebagai bukti penghormatan kepada narasumber, permohonan maaf wajib dibuat jika menyangkut substansi pokok yang diberitakan.
Sebagai wartawan profesional dan memiliki integritas, kita tak perlu malu mengakui kesalahan dan jangan malu memohon maaf. Kecenderungan kesalahan selalu terjadi di dunia jurnalis, mengingat tugas-tugas yang berjejal dan kompetitif. Sedangkan wartawan adalah manusia biasa. Taati saja kode etik: segera perbaiki dan sertai permohonan maaf.
Bagaimana aturan mainnya, tentang hak jawab atau hak koreksi yang akan diajukan ke media? Kita bahas pada pasal terkahir kode etik jurnalistik.
15.Layani Hak Jawab
& Hak Koreksi
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proforsional (KEJI Pasal 11)
Wartawan jangan menang sendiri. Harus melayani hak jawab dan hak koreksi. Yang dimaksud dengan hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Sedangkan hak koreksi adalah hak seseorang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Proforsional berarti setara dengan berita yang akan diperbaiki.
Seorang wartawan harus bersikap dewasa saat menerima sanggahan atau pembetulan dari pihak lain. Utamanya menyangkut hak jawab seseorang atau sekelompok orang. Pemuatan hak jawab dan hak koreksi mesti proforsional.
Artinya, berita sanggahan atau bantahan tersebut harus sesuai dengan posisi dan proforsi berita yang disanggah. Di halaman mana, berita yang disanggah, disitu pula berita sanggahan dimuat. Sebanyak apa berita yang akan disanggah, maksimal sebanyak itu pula sanggahan dimuat.
Prosedurnya bisa dijelaskan sebagai berikut: Misalkan seorang oknum kepala sekolah diberitakan melakukan pungli (pungutan liar) terhadap 50-an siswa yang akan mengikuti ujian akhir. Kedok pungli, untuk uang ujian. Beritanya kemudian dimuat di media cetak. Ternyata, si Oknum Kepala Sekolah merasa keberatan dengan pemberitaan, karena merasa tidak melakukannya. Ia bisa menggunakan hak jawabnya.
Prosedurnya, bisa mendatangi langsung pemimpin redaksi media tersebut, dan menjelaskan kejadian sebenarnya. Kemudian dia meminta sanggahannya sesegera mungkin dimuat di tempat yang sama di koran yang sama, maksimal sebanyak proforsi berita yang disanggahnya. Pihak media wajib memuat sanggahan itu.
Atau melalui sanggahan tertulis dengan jelas atas dasar pemberitaan sesuai edisi, halaman media yang memuat berita itu. Surat sanggahan itu dikirimkan ke pemimpin redaksinya. Dan pemimpin redaksi media tersebut wajib memuat sanggahan itu. Tentu saja, sanggahan itu juga berupa fakta. Bukan mengada-ada.
Hak koreksi tidak menyangkut nama baik. Tetapi hanya merupakan kekeliruan informasi dalam pemberitaan. Bukan saja menyangkut tentang seseorang mengenai dirinya. Hak koreksi juga bisa dilakukan pihak lain. Asal sifatnya membetulkan kekeliruan.
Contohnya, seorang siswa merasa ada informasi yang salah tentang pemberitaan sekolahnya. Si Siswa bisa menelepon redaksi media atau menulis surat sanggahan atas kekeliruan itu disertai data atau informasi yang sebenarnya. Dan pihak media wajib memuat pembetulan itu.
Wartawan atau media yang mengabaikan hak jawab, bukan saja telah melakukan pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik. Tetapi, sekaligus melanggar UU Pers No.40 Tahun 1999 Pasal 5 yang mewajibkan pers melayani hak jawab dan wajib melayani hak koreksi. Sanksi atas pengabaian hak jawab ini dikenakan pidana denda Rp 500 juta (Pasal 18 Ayat 2 UU Pers)
Bagi pihak yang merasa dirugikan, hak jawab merupakan wahana yang disediakan pihak pers. Andai kata masih merasa belum puas dengan pemuatan hak jawab, dia kemudian bisa melapor ke Dewan Pers, di Jakarta. Bisa mendatangi langsung atau mengirimi surat disertai bukti-bukti kliping berita lengkap dengan tanggal dan edisinya. Sesuai fungsi dan wewenangnya, Dewan Pers akan memberi jalan keluar dan melakukan mediasi antara orang yang dirugikan dan pengelola media.
Dewan Pers, jika memungkinkan akan meminta pengelola pers memuat hak jawab dan permohonan maaf secara proforsional juga. Jika kemudian masih juga belum merasa puas, barulah ditempuh jalur hukum. Melapor ke polisi jika menyangkut pidana atau menggugat secara perdata ke pengadilan dalam hal ganti rugi.
Tentu wartawan tidak menginginkan hal demikian. Untuk itu, fahami dan taati kode etik. Kode etik merupakan tata aturan yang dibuat sendiri oleh wartawan. Wajar jika wartawan harus selalu menaatinya. Kode etik merupakan serangkaian tata etik menyangkut moral. Pelanggarannya hanya dilakukan wartawan amoral. Dan itu memalukan.
Yang pasti, penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik hanya merupakan hak dan kewenangan Dewan Pers. Sedangkan penjatuhan sanksi atas pelanggaran kode etik menjadi wewenang organisasi wartawan dan atau perusahaan pers tempat si Wartawan bekerja.
PENGENALAN
DUNIA
JURNALISTIK
Oleh: Drs. Wahyudi EL Panggabean.
1. Tak Sekadar
Kartu Pers...
Kendati perkembangan informasi dan media massa begitu pesatnya, tampaknya, pekerjaan jurnalistik dan dunia kewartawanan belum dikenal luas. Bagaimana idealnya pekerjaan seorang wartawan atau dalam bahasa Inggris disebut journalist ini? Memang harus diakui, masih menempati gambaran beragam di tengah masyarakat kita.
Jika dilihat sejarahnya, secara etimologi, jurnalistik berasal dari kata journ. Dalam bahasa Perancis, journ artinya catatan atau laporan harian. Dengan demikian, jurnalistik merupakan kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau laporan yang dibuat setiap hari. Itu artinya, jurnalistik identik dengan tugas dan pekerjaan seorang wartawan dalam menjalankan profesinya.
Untuk itu, hal atau tugas apa saja, menyangkut tugas wartawan, sepanjang dalam lingkup profesinya, layak disebut jurnalistik. Pengemban dan pelaksana tugas itu dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah journalist. Dalam bahasa Indonesia disebut wartawan. Pengertian ini dipertegas dan diperjelas UU Pers No. 40 Tahun 1999, Pasal 1 Ayat 4:
Yang dimaksud dengan wartawan dalam undang-undang ini adalah orang yang secara teratur melakukan tugas jurnalistik.
Tentu saja, pekerjaan jurnalistik dimaksud, dilakukan seseorang yang memang bekerja pada sebuah penerbitan media massa. Baik media cetak berupa—bulltetin, majalah, surat kabar--maupun media elektronik gambar seperti tele visi, media elektoronik suara seperti radio dan cyber media seperti media internet.
Semua pekerjaan yang berhubungan dengan perburuan dan pencarian, pengolahan dan penyiaran berita untuk media massa tersebut berada dalam lingkup tugas-tugas jurnalistik yang dilakukan wartawan.
Meski tidak diatur jelas dalam undang-undang, biasanya seorang wartawan dilengkapi kartu identitas dari media tempat dia bekerja. Kartu ini disebut kartu pers (perss card). Masalahnya, tidak semua pemilik kartu pers ini, justru bekerja sebagai wartawan seperti yang diamanahkan UU Pers No. 40 tahun 1999 itu.
Terlebih lagi, dalam satu dasa warsa terakhir, era lebih mudah mendirikan penerbitan pers. Kondisi ini dimanfaatkan orang-orang yang melirik pers sebagai alternatif. Ada banyak oknum memanfaatkan kartu pers untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Tidak sedikit pemilik dan pengelola penerbitan yang berani menjual kartu pers buat orang-orang yang memang tak memiliki bekal dan pengetahuan jurnalistik.
Mereka ini memiliki gelar beragam: Wali (Wartawan Liar), WTS (Wartawan tanpa surat kabar), Wartawan Gadungan, Wartawan Bodrex, Wartawan CNN (cuma nengok-nengok) Wartawan Muntaber (muncul tanpa berita) dan banyak lagi gelarnya. Lain daerah, lain pula gelar populernya. Di kawasan Kepulauan Riau, dikenal istilah Wartawan Kucing. Datang mengeong, sekadar minta uang makan dan minyak sepeda motor. Uang diberikan, dia langsung pergi.
Dengan modal keberanian, mereka para pemegang kartu pers ini, mendatangi sumber-sumber berita di instansi-instansi. Mereka nekat melakukan investigasi kasus-kasus penyelewengan. Kemudian mewawancarai dan meminta konfirmasi tentang dugaan penyimpangan yang dilakukan pejabat di berbagai instansi. Lantas, dalam wawancara dan konfirmasi itu, mereka mengkondisikannya, agar sumber berita tersebut merasa ketakutan jika kasusnya, diberitakan di media.
Tujuan akhirnya? Tentu saja uang. Atau lebih lazim dengan istilah amplop. Karena sebelum uang diberikan narasumber kepada wartawan, biasanya dimasukkan dulu dalam amplop. Penomena demikian, kelihatannya, sulit membasminya. Soalnya, perlu juga dicatat. Ihwal menerima amplop ini, tidak semata-mata monopoli para ”wartawan-wartawanan” yang saya sebut tadi.
Pernah juga saya melakukan pengamatan, khususnya dunia ”per-amplop-an” ini. Yang saya jadikan sampel pengamatan adalah para wartawan yang bertugas di Pekanbaru. Baik dari media terbitan lokal maupun media terbitan Jakarta. Mengamati dan memperhatikan para wartawan dalam berbagai kesempatan jumpa pers, juga mewawancarai banyak narasumber dan para wartawan itu sendiri. Kesimpulannya: kebanyakan wartawan memang menerima amplop dari narasumber.
Ada kekecualian, tentu. Satu atau dua orang wartawan dari media terbitan Pekanbaru. Dan satu-dua orang wartawan media terbitan Jakarta. Yang lain? Justru amplop menjadi motivasi utama. Malah, sebagian wartawan, semata-mata mengincar kesempatan mendapatkan amplop ketimbang berburu informasi.Yang begini memang, tergolong parah.
Meski, tidak lebih banyak, kenyataannya, cukup ampuh menodai citra wartawan. Sebab, perilaku demikian, langsung bersentuhan dengan masyarakat. Sikap buruk yang senantiasa dipertontonkan kepada narasumber ini, tampaknya telah membangun konotasi jelek wartawan di mata publik.
Sehingga, tidak jarang, jika perbincangan mengambil topik seputar profesi jurnalistik, kerap kali yang muncul deskripsinya adalah orang-orang yang diidentikkan dengan sikap negatif. Ada yang menilai, sebagai oknum pengemis, pemeras orang-orang bersalah dan pihak yang dinilai selalu memanfaatkan situasi untuk kepentingan uang.
Ironis. Banyak juga para wartawan pemburu amplop ini, justru bekerja di media yang secara kapital dan finansial, sudah cukup berkembang. Malah, sebagian mereka menerima gaji yang lumayan dari perusahaan pers tempat mereka bekerja itu. Namun, jika perilaku materialistis sudah merasuk, berapa pun gaji yang diterima setiap bulan, tidaklah pernah cukup. Selalu saja merasa kurang. Akibatanya, profesi disalahgunakan.
Padahal, selalu dicantukam di bawah boks redaksi (susunan nama-nama pengelola media) sebuah surat kabar berupa pengumuman: ”Wartawan kami selalu dibekali identitas dan tidak dibenarkan menerima pemberian dalam bentuk apa pun dari narasumber”. Di media televisi, setiap saat muncul pengumuman yang isinya kira-kiran begini: Hubungi nomor telepon ini, jika menemukan wartawan kami meminta atau menerima pemberian narasumber. Sayangnya, ultimatum itu, bagi sebagian wartawan, dianggap hiasan belaka.
Apa jeleknya wartawan menerima amplop? Pertanyaan inilah yang sangat jarang diangkat. Baik dalam pertemuan-pertemuan formal sesama wartawan, di lingkungan organisasi, atau saat mengadakan pelatihan-pelatihan jurnalistik. Mungkin saja, pertanyaan ini kurang menarik, mengingat sebagian besar wartawan di daerah ini sudah terjangkiti ”virus” amplop? Entahlah!
Jelasnya, tidak bisa dimungkiri. Apa pun pemberian narasumber kepada wartawan saat si Wartawan menjalankan tugas jurnalistik, pasti memengaruhi berita yang dia tulis. Apakah pemberian itu-- sesuai ucapan si Pemberi--tidak akan mengikat, apalagi yang sengaja diberikan agar wartawan terpengaruh. Toh, namanya uang, sangat rentan terhadap informasi yang diperoleh wartawan. Apa pun dalihnya, saya kira berita yang ditulisnya akan bias.
Memang ada kalanya, saat memberi uang amplop itu, si Narasumber mungkin belum terlibat kesalahan atau penyelewengan. Tetapi, suatu saat kelak, dia melakukan kesalahan, si Wartawan penerima uang dari dia, akan mengingat pemberian itu. Otomatis akan berpengaruh pada berita yang akan dia tulis menyangkut si Narasumber tadi.
Sebuah peristiwa pengancaman seorang oknum Kapolsek terhadap seorang wartawan contohnya. Peristiwanya, beberapa waktu silam. Pasalnya, si Wartawan memberitakan kesalahan yang dilakukan anggota si Kapolsek. Kasus ini sempat heboh sampai ke meja Kapolda, saat pimpinan si Wartawan dan kalangan organisasi mengadukannya serta mengecam tindakan si Kapolsek. Persoalan memang terhenti saat kapolda dilapori. Tetapi, masalahnya tetap membekas dendam bagi kedua belah pihak.
Saya mencoba menelusuri, kenapa si Kapolsek begitu arogan? Bukankah kesalahan memang dilakukan anggotanya? Ternyata, hasil dialog saya dengan si Wartawan, berhasil mengungkap informasi lebih menarik lagi: selama ini hubungannya dengan si Kapolsek cukup mesra. Malah dia sering ”dititipi” uang malam Minggu oleh Kapolsek.
Sayangnya, kemesraan berbumbu ”uang’ itu langsung robek saat si Wartawan menulis kasus dalam lingkup tugas si Kapolsek. Begitulah jadinya, jika koneksitas wartawan dengan narasumber direkat uang. Begitu rentan. Tidak bertahan lama.
Baru-baru ini, kasus wartawan tercuat lagi. Di sebuah desa di kawasan Pelalawan, dua wartawan mengaku dari KPK (Koran Pemberantas Korupsi) ditangkap polisi dalam sebuah jebakan yang disutradarai oknum kepala desa. Sebelumnya, si Kades, yang mereka duga melakukan tindakan korupsi dana pemerintah untuk desanya, dimintai konfirmasi.
Kedua wartawan itu mengancam: akan melaporkan kasus itu ke Polda Riau. Tentu si Kades, ketakutan dan mencoba menenangkan wartawan. Caranya? Yah, penuhi perminataan mereka. Masing-masing wartawan meminta Rp 2 juta. Janji dibuat. Uang diserahkan di sebuah tempat di Pangkalan Kerinci. Usai si Kades mengambil uang di salah satu bank.
Begitu uang diserahkan beberapa oknum reserse Polres Pelalawan, langsung membekuk kedua wartawan itu. Mereka digelandang ke Mapolres dan kemudian ditahan. Kasusnya sampai ke pengadilan. Mereka dihukum sebagai pemeras. Tindakan ini, sangat memalukan. Dan, peristiwa semacam ini, termasuk yang apes. Bagi yang tidak terdeteksi, mungkin saja jumlahnya lebih banyak.
Pemerasan, penerimaan suap dan penyalahgunaan profesi wartawan, tampaknya terus terjadi. Semua itu dilakukan demi kepentingan pribadi dan mengorbankan informasi yang seharusnya disiarkan dan diberitakan kepada masyarakat. Wartawan butuh uang, narasumber ingin lepas dari pemberitaan. Jika kedua belah pihak sepakat, terjadilah suap menyuap. Jika si Narasumber tidak setuju, tindakan wartawan disebut pemerasan. Jika si Wartawan konsisten dengan profesinya, apapun alasan, berapa pun imbalan, ia tidak peduli. Informasi yang jujur tetap diberitakan kepada masyarakat.
. Sebagai wartawan, Anda pilih mana? Berjuang melawan godaan, bermodalkan profesionalisme saja, ternyata tidak cukup. Seorang wartawan harus memiliki integritas. Integritas berasal dari kata integer (Latin) artinya: tidak tersentuh noda.
Seperti tercermin dalam Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJI) Pasal 6: Wartawan Indonesia, tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi. Syah saja, pengertian suap dalam kode etik ini, tetap diperlonggar. Khususnya bagi kalangan wartawan yang sudah dirasuki kehidupan sarwa materi. Sehingga, pemberian narasumber sering ditafsirkan sebagai hadiah. Bukan suap.
Sebagai wartawan dan orang beragama, sudah saatnya kita menjauhi praktik-praktik suap yang merusak moral dan tatanan kehidupan. Akibat suap, informasi tentang kebenaran tidak mungkin diperoleh. Ingat sabda Rasulullah saw :
”Sesungghnya Alah melaknat orang – orang pemberi dan penerima suap serta broker yang jadi perantaranya”.
Kesimpulan:
1. Wartawan adalah orang yang secara teratur melakukan tugas jurnalistik.
2. Wartawan tidak sekadar dibuktikan dengan kartu pers. Harus memiliki media tempatnya menyalurkan berita-berita atas tugas jurnalistik yang dijalankannya.
3. Wartawan yang baik adalah wartawan profesional dan memiliki integritas. Sedapat mungkin menghindari pemberian narasumber. Menginkat atau tidak.
4. Pemberian uang seperti populer dengan istilah amplop, sangat merusak citra wartawan. Karena akan memengaruhi objektivitas berita yang ditulisnya. Hindari itu.
2. Siapa Menggaji
Wartawan?
Pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang berkewajiban menggaji wartawan, bukan hanya merupakan pertanyaan masyarakat atau kalangan di luar profesi wartawan. Malah, banyak wartawan yang tidak mengetahui sama sekali bahwa mereka sebenarnya, seyogianya menerima gaji dari perusahaan pers tempat mereka bekerja. Baik berupa gaji, honor atau bentuk penerimaan lainnya. Sampai ke soal kepemilikan saham, wartawan harus punya hak. Pasal 10 UU Pers No. 40 Tahun 1999 berbunyi:
Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba serta bentuk kesejahteraan lainnya.
Jika merujuk kepada isi pasal tersebut, tidak diragukan lagi, betapa sejahteranya, sesungguhnya, seorang wartawan. Khususnya yang bekerja di media-media mapan.
Buat wartawan Riau, paling tidak sebagian besar wartawannya, sudah pada menikmati buah kesejahteraan ini. Mengingat beberapa media cetak terbitan Pekanbaru, konon sudah pada tahap meraih keuntungan spektakuler setiap tahun. Sebuah surat kabar harian kriminal, menurut pemimpin redaksinya, bisa meraih laba bersih di atas satu milyar rupiah pertahun.
Sementara karyawannya, termasuk wartawannya paling banyak 30 orang. Angka-angka itu, bisa memberi gambaran menggembirakan, andai pemilik perusahan pers itu menaati imbauan Pasal 10 UU Pers tadi. Malah ada surat kabar Riau meraup keuntungan bersih di atas Rp 10 milyar setahun. Luar biasa!
Terlepas dari itu, setahu saya, para wartawan di media tersebut menerima honor berupa gaji di atas sejuta rupiah per bulan. Itu baru kalangan wartawan dengan masa kerja sekitar 6 bulan. Tentu saja, angka itu melejit bagi para redaktur dan wartawan senior, yang sudah lebih dulu mengabdi. Wajar, jika media-media yang dikelola dengan managemen serius, menjadi incaran para wartawan, saat ini.
Lantas, bagaimana dengan media-media kecil? Dari khazanah inilah, tampaknya sering mencuat persoalan. Hingga--seperti pertanyaan tadi, banyak di antara mereka, para wartawan di media kecil ini--jadi “korban”. Jangankan menerima gaji atau honor dari perusahan tempat mereka bekerja. Malah, mereka terkadang tidak menyadari, bahwa perusahaan mereka wajib menggaji mereka.
Masalahnya, terkadang dilematis juga. Perusahaan tak layak dituntut. Jangankan menggaji, untuk biaya cetak saja: “Senen-Kemis”. Lha, sebaliknya, mau menggaji wartawan pula? Apakah memang wartawan yang dipekerjakan itu sudah memiliki skill jurnalistik, sehingga mampu melahirkan produk jurnalisme yang layak dibayar? Dalam kondisi demikian, surat kabar tetap terbit. Caranya, para wartawan, yang mereka bekali kartu pers dimintai dana dengan kedok pembayaran koran di depan.
Katakanlah seorang wartawan harus membayar uang pembelian 3 bulan koran dengan 50 eksemplar koran, per terbit. Jika satu bulan empat kali terbit, yang harus dibayar wartawan yakni 12 kali 50 eksemplar yaitu 600 eksemplar. Jika satu eksempalar dirata-ratakan harganya Rp 3.000, maka si Wartawan harus menyetor dana Rp 1,8 juta. Dengan catatan, pemilik dan pemimpin media, tidak mau tahu dengan koran yang dikirimkannya kepada wartawan setiap terbit, mau laku atau tidak. Yang jelas, sebelum habis masa tiga bulan itu, dia kembali meminta setoran uantuk 3 bulan berikutnya. Dan seterusnya, dan seterusnya. Uang tidak disetor kartu tidak diperpanjang.
Nah, dari mana si Wartawan menerima gaji? Terus terang, kendati hal ini memprihatinkan, inilah sisi lain dunia jurnalistik kita. Sisi gelap pers demikian, kelihatannya masih marak. Kondisi demikian ini, jika diteliti saksama, bisa jadi merupakan sumber rusaknya citra wartawan di negeri ini. Memang, masalahnya bisa diperdebatkan. Namun, secara logika, apa mungkin seorang wartawan bisa bertahan hidup dari media demikian, tanpa menerima gaji? Bukankah tututan kebutuhan perut tidak bisa ditunda dan harus dicarikan solusinya walau harus mengemis dan memeras?
Deregulasi industri pers, sejak era reformasi menggeliding, pantas disyukuri. Tetapi, kondisi dimana menjamurnya penerbitan tak terkendali yang disetir tanpa profesionalisme, seperti sekarang ini, setuju atau tidak, telah melahirkan beragam persoalan di tengah masyarakat kita. Mau tidak mau, wartawan sebagai profesi mulya, pemburu informasi, demi kebutuhan hakiki pembaca, kecipratan bercak noda. Noda yang menyembur dari pribadi wartawan sendiri.
Tapi tak perlu terlalu dikhawatirkan. Toh, sisi terang wartawan kita sekarang, jauh lebih bersinar. Bagi yang ingin menjadi wartawan profesional, yang semata-mata menggantungkan kehidupan pada profesi wartawan, kesempatan kian besar. Saat ini, para pengelola surat kabar harian, secara kontiniu membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin menjadi wartawan. Tentu saja dengan gaji dan honor, boleh dikatakan memadai.
Makin mapan media, makin tinggi gaji wartawannya. Terlebih media massa profesional seperti Harian Kompas, The Jakarta Post, Majalah Tempo dan media-media lain, juga media elektornik seperti Metro TV, SCTV, AN TV, TV One, RCTI dan sebagainya, gaji wartawannya tentulah sangat besar. Dan, untuk bisa menjadi wartawan di media besar seperti itu, juga punya persyaratan khusus serta harus melalui tes penyaringan ketat. Tetapi, jika Anda berminat, sepanjang mau berusaha serius dan bekerja keras, kenapa tidak?
Khusus media lokal, sering sekali, iklan lowongan bagi wartawan terpampang. Juga media terbitan Pekanbaru. Kesempatan, selalu muncul. Menjadi wartawan di media terbitan daerah, tampaknya sedikit lebih longgar dibanding media besar terbitan Jakarta. Persaingannya, juga cenderung ringan. Tetapi, begitu Anda diterima menjadi wartawan di media-media mapan, baik terbitan Jakarta maupun daerah, biasanya Anda langsung menerima gaji. Meskipun masih dalam tahap magang.
Mungkin saja, ada media, baru sebatas memberlakukan honor berita, di masa percobaan. Tetapi honor yang diterima seorang calon wartawan kreatif, tergolong lumayan. Apalagi untuk ukuran seorang lajang. “Saya menerima di atas sejuta rupiah per bulan dari honor berita saat menjalani masa percobaan,” kata seorang wartawan surat kabar harian terbitan Pekanbaru.
Hidup dari honor berita, atau gaji yang diberikan perusahaan tempat si Wartawan bekerja, betapa pun kecilnya. Bukan hidup atas pemberian narasumber, betapapun besarnya. Wartawan yang baik, profesional dan memiliki integritas, sesungguhnya adalah wartawan yang semata-mata digaji perusahan tempat dia bekerja atas kinerja jurnalistiknya. Hasil kreativitasnya dibayar sesuai misi yang dijalankannya: Berburu informasi jujur, memperjuangkan nilai-nilai kebenaran,
untuk dipublikasikan kepada khalayak.
Kesimpulan:
1. Seorang wartawan profesional, menerima gaji dan honor yang cukup dari media tempatnya bekerja.
2. Wartawan yang bak, hanya menerima gaji dari hasil kreativitasnya dan perusahan tempat dia mengabdikan profesinya.
3. Hanya wartawan tak profesional yang tidak menerima gaji dari perusahaan medianya. Wartawan seperti ini, dinilai turut merusak citra wartawan.
4. Makin mapan perusahan media, makin besar honor dan gaji yang diberikannya kepada wartawannya.
3.
Tak Satu Jalan
Menuju: Wartawan
Ingin jadi wartawan, bagaimana caranya? Jawabnya: bagai menuju Roma, banyak jalan bisa ditempuh. Sepanjang memiliki kemauan yang kuat, pasti ada jalan.
Bisa langsung melamar ke media saat media itu membuka lowongan. Bisa juga didahului mengikuti pendidikan semacam kursus. Tentu kedua cara ini, bukan harga mati. Ada cara lain lagi, yakni dengan mengirimkan tulisan-tulisan secara kontiniu ke sebuah media. Hingga suatu saat kelak, redaktur tertarik. Lantas menarik Anda ke bagian lingkup tugas jurnalistik di medianya.
Dengan cara langsung, melamar saat media membuka lowongan, berarti harus memenuhi persyaratan yang diminta media tersebut. Pendidikan, misalnya. Harus sarjana dan IPK minimal 2,75 dan usia, biasanya tidak di atas 27 tahun. Lantas, harus mengikuti serangkaian tes yang ditetapkan sebuah tim. Jika Anda lolos, tahapan selanjutnya mengikuti pendidikan dasar-dasar jurnalistik. Jalur ini, memang sedikit lebih sulit.
Untuk alternatif kedua, memang butuh proses. Belajar sekaligus pemagangan bisa menelan total waktu 4 bulan. Jalur pendidikan demikian, ternyata cukup berhasil. Setelah dididik dengan bekal pengetahuan jurnalistik selama 2 bulan penuh, dua bulan berikutnya, menjalani pemagangan di media. Biasanya, calon wartawan yang berhasil menunjukkan prestasi gemilang saat magang, langsung “dilamar” media tersebut, utuk menjadi wartawan. Kenyataannya, alternatif kedua inilah yang banyak diikuti para calon wartawan.
Nah, apa pula syaratnya mengikuti kursus pelatihan wartawan ini? Pertanyaan ini mengingatkan saya pada sebuah kisah di bulan Februari 2007. Seorang bintara dari Corp Polisi Militer mendatangi Lembaga Pendidikan Wartawan, Pekanbaru Journalist Center (PJC) Jalan Paus 200 E Pekanbaru, sebuah lembaga pendidikan yang saya dirikan beberapa hari sebelumnya. Tepatnya tanggal 12 Februari 2007.
Pria 30-an, tentu saja berpostur tegap, tinggi dan besar itu, hadir di sana, setelah membaca iklan penerimaan siswa PJC. “Saya ingin mendaftarkan adek saya, Pak!” katanya tegas, tapi santun. Sepekan kemudian, setelah proses belajar berjalan 2 hari, barulah adeknya itu datang dan langsung ikut belajar. Mirip abangnya, berpostur tinggi besar, agak gendut.
Seperti biasanya, setiap siswa harus maju ke depan kelas dan bercerita riwayat hidup masing-masing. Tentulah yang paling utama, menjelaskan motivasinya ikut belajar. Agak lucu, kedengarannya. Ternyata, siswa yang satu ini, da tahun terkahir bekerja sebagai pengamen. Ijazah terakhir yang dimilikinya pun hanya Paket C, setara SLTA.
Tetapi, sebagai seorang guru, bagi saya, itu tidaklah teramat penting. Silakan media punya standar sendiri saat menerima calon wartawannya. Apakah harus minimal berpendidikan sarjana atau sederajat, itu soal kebijakan administrasi. Namun, keinginan kuat untuk belajar menjadi wartawan, pantas juga dihormati.
Menurut saya, seorang guru, haruslah bertindak sebagai seorang imam dalam salat. Siapapun yang berdiri sebagai makmum, ia tidak boleh melarang.
Kembali ke cerita tadi. Mentalnya bagus. Memiliki kemauan dan tekad kuat. Malah mengalahkan tekad siswa lain yang umumnya sarjana. Pendidikan dia jalani dengan tekun selama 2 bulan.
Selanjutnya, menjalani pemagangan di sebuah koran harian. Sayangnya, saat magang, ia merasa tidak dihargai para redaktur media itu. Dia kembali ke saya membawa keluhan: “Masak saya disuruh mereka, mewawancarai Ketua RT? Kenapa tak ditugasi mewawancarai Kapolda?” kali ini, ia sangat marah.
Saya hanya tersenyum, meminta dia pindah magang ke majalah yang saya pimpin. Ia setuju. Pendek kisah, dia termasuk tim wartawan yang berhasil meliput bencana gempa di Sumatera Barat, kala itu. Kelihatannya, prestasinya selama pemagangan lumayan bagus. Usai ujian akhir, ia kemudian menghilang. Tiga bulan kemudian saya dengar dia kembali ke habitatnya.
Tetapi, kondisi ini tak bertahan lama. Abangnya, segera mengambil inisiatif. Atas bantuan seorang pemimpin redaksi surat kabar di Pekanbaru, dia diterima magang di koran itu. Kemampuannya muncul. Beritanya cukup kreatif dan tajam. Ia berhasil. Kemudian menikah dengan wanita pujaannya. Kini, ia telah dianugerahiNya seorang anak. Sampai sekarang masih tercatat sebagai wartawan di media itu.
Meskipun bukan siswa terbaik kala itu, tetapi dengan modal ijazah Paket C, ia membuktikan kemauan dan tekad membaja, mengantarnya ke cita-citanya. Akan sangat beda tentu, andai ia masih tetap ngamen. Ia malah, akan jadi objek pemberitaan wartawan. Karena, mungkin, suatu hari diuber-uber polisi pamong praja, karena dinilai mengganggu ketertiban umum. Bisa jadi.
Nah, bagaimana jika langsung melamar ke media saat penerimaan wartawan? Seperti dijelaskan, harus lolos tes. Dan kemudian mengikuti pelatihan dasar jurnalistik yang diselenggarakan media tersebut. Tetapi, akhir-akhir ini, para pengelola media sudah tak mau menempuh risiko, susah-susah mengiklankan lowongan wartawan. Mereka lebih sering menelepon lembaga pendidikan, menanyakan alumni lembaga itu yang masih nganggur.
“Untuk apa susah-susah merekrut dan mendidik orang? Lebih baik langsung terima yang sudah jadi,” kata seorang anggota tim seleksi wartawan sebuah koran harian terbitan Pekanbaru. Artinya, jika ingin jadi wartawan, tempulah jalur kedua tadi: kursus dulu. Dengan memiliki bekal ilmu jurnalistik, sebuah media “terpaksa” menerima Anda. Sekalipun Anda hanya tamatan SLTA. Karena kemampuan lebih dibutuhkan dari pada pendidikan formal.
Banyak bukti tentang ini. Bambang Hermanto, penerima PJC Award 2009 sebagai wartawan dan Alumni PJC terbaik, adalah kisah perjalanan seorang wartawan sukses dengan memilih jalur ini. Bambang hanya jebolan SLTA dan memulai kariernya sebagai jurnalis dengan belajar di PJC tahun 2007. Pamannya, seorang pemimpin redaksi surat kabar harian, malah memintanya, belajar dulu, baru bekerja di medianya.
Dengan modal ijazah SLTA, ia termasuk siswa terbaik di PJC. Kemudian ia menjalani pemagangan di Surat Kabar Kriminal, Pekanbaru MX. Selama magang ia cukup diperhitungkan. Usai magang dia langsung “ditarik” jadi wartawan di media itu dengan status percobaan. Masa uji coba enam bulan itu, dilaluinya dengan kerja keras. Kerja kerasnya membuahkan hasil. Ia tampil sebagai salah seorang wartawan kreatif. Ia kemudian diangkat menjadi wartawan tetap media itu.
Dengan gaji tetap, yang nominalnya tergolong lumayan, ia tak buang kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Saat ini, ia belajar di Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning. Bekerja sekaligus mahasiswa, membuatnya tak lagi merasa minder di kalangan wartawan yang terus berpacu, bekompetisi. Atas kegigihannya, menekuni profesi dan tetap berupaya menimba ilmu, serta terus mempertahankan integritas, ia berhasil meraih penghargaan tertinggi dari lembaga tempat dia belajar jurnalistik: PJC Award 2009.
Pengalaman Bambang diikuti banyak juniornya dari PJC. Saat ini, dari 150-an alumni PJC sekitar 75-an sudah bekerja sebagai wartawan baik di koran harian maupun di koran mingguan. Menjadi wartawan surat kabar mingguan, tentu sedikit lebih mudah. Soal ini, malah sudah ada yang menerbitkan media sendiri sekaligus memimpinnya. Yakni, Alex Harefa, alumni PJC pemilik sekaligus pemimpin SKM RADAR. Alex juga menerima penghargaan PJC 2009 sebagai alumni yang berhasil menerbitkan dan memimpin media sendiri.
Intinya, mereka membuktikan, bahwa mereka mampu dan gemilang. Seperti kata pepatah: Dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Walau sesungguhnya, media-media sekarang memberi persyaratan, wartawan minimal D-3, toh dengan cara yang ditempuh Bambang, kelihatannya lebih baik. Ia kuliah setelah bekerja. Lumayan. Cara yang dilakukan Alex tentu, lebih exellen.
Jalur ketiga, lebih dulu mengirimi sebuah redaksi tulisan-tulisan. Cara ini juga ditempuh beberapa wartawan. Setidaknya, tulisan-tulisan itu, apalagi banyak di antaranya yang dimuat, sudah membuka perkenalan penulis dengan pihak redaksi, khususnya soal kreativitas. Jika kelak, mereka butuh wartawan, mungkin mereka memanggil dan menyuratinya. Jalur ini, memang tergolong lambat.
Adakah cara lain? Ada! Jika Anda termasuk orang yang memiliki kemauan keras menjadi wartawan, ikuti saja petunjuk dalam pelatihan ini dan cari buku-buku relevan. Praktikkan terus hingga Anda berhasil. Lakukan latihan-latihan sesuai saran buku-buku tersebut. Saya yakin, Anda akan berhasil. Jangan segan-segan mengirimkan tulisan Anda ke media. Coba saja.Tak ada yang perlu ditakutkan. Persoalan dimuat atau tidak, itu urusan belakangan. Jika sudah dimuat sekali saja. Anda telah berhasil 50 persen. Anda pasti bisa!
Yang mesti dipahami, dunia wartawan adalah dunia kreativitas. Bukan dunia birokrasi lazimnya memasuki PNS. Bukti kreativitas, jauh lebih berarti dari jenjang pendidikan formal. Jika Anda melamar menjadi wartawan dan melampirkan bukti berupa kliping tentang berita-berita yang penrah anda tulis di media, Anda punya peluang besar diterima. Strategi ini, jauh lebih ampuh ketimbang Anda membawa surat rekomendasi penguasa atau orang “kuat” yang Anda nilai disegani pengelola media tempat melamar itu. Percayalah!
Kesimpulan:
1. Banyak jalan bisa ditempuh jika ingin menjadi wartawan. Cara paling ampuh, mengikuti kursus dan pelatihan jurnalistik, terlebih dulu. Cara lain, melamar langsung ke media. Atau mengirimi tulisan-tulisan hasil karya jurnalistik Anda.
2. Otodidak, dengan membaca buku-buku, termasuk pelatihan ini, tentunya. Kemudian melakukan latihan rutin. Lantas, berupaya keras agar hasil latihan itu dimuat media. Jika media sudah memuatnya, berarti media sudah percaya dengan kemampuan Anda.
3. Bukti-bukti berupa kliping tulisan Anda di media, jauh lebih berarti ketimbang rekomendasi dari penguasa manapun, saat Anda melamar menjadi wartawan. Sebab dunia wartawan adalah dunia kretivitas. Tidak sama dengan melamar PNS.
BAGIAN II
KODE ETIK &
ETIKA PROFESI
WARTAWAN
Oleh: Drs. Wahyudi EL Panggabean.
4.
Berpeganglah
pada Kode Etik
Jurnalistik
Pada hakekatnya, seorang wartawan berarti seorang pemburu informasi. Seorang pemburu berarti seorang dengan sepucuk senjata di genggaman. Namun, perlu dipahami, seorang wartawan adalah seorang pemburu informasi sejati. Pemburu sejati adalah pemburu yang berani dan jujur.
Kebernian dan kejujuran wartawan harus berada pada lingkup aturan yang membatasinya. Keberanian dan kejujuan itu harus tercermin dalam sikapnya yang santun, berniat baik, adil dan profesional. Tidak mentang-mentang diberi wewenang melakukan perburuan informasi, lantas seenaknya “menembaki” buruan. Semua ada aturannya. Aturan menggunakan senjata yang digenggamnya. Bagi wartawan, senjatanya adalah Kode Etik Jurnalistik.
Senjata di genggaman, berikut pelurunya, belum cukup, tanpa keahlian menggunakannya. Jangan sampai terjadi: senjata justru makan Tuan-nya. Pemahaman dan penaatan pada kode etik, bagi seorang wartawan merupakan hal mutlak. Tidak bisa ditawar-tawar. Kode etik begitu penting: sebagai rambu-rambu, pegangan dan batasan moral bagi seorang wartawan saat melakukan tugas-tugas jurnalistiknya.
Umumnya, distorsi (gangguan) yang terjadi dalam tugas-tugas kewartawanan, bersumber dari ketidakpahamannya atau pelanggaran yang dilakukannya terhadap kode etik jurnalistik. Sebab, sesungguhnya semua lingkup tugas jurnalistik, harus dikawal oleh kode etik. Tanpa itu, bisa dibayangkan, seorang wartawan akan kehilangan kendali. Sehingga, bisa diduga ia akan gagal menjalankan tugas jurnalistik dengan baik.
Malah, tindakan kekerasan terhadap wartawan, terjadinya friksi wartawan dengan narasumber sampai ke masalah-malasah yang bermuara pada pelanggaran hukum, sering kali bermula dari persoalan ketidakpahaman dan pelanggaran terhadap kode etik yang dilakukan si Wartawan itu sendiri. Jadi, bisa dimaklumi betapa besarnya peran kode etik jurnalistik.
Ada kalanya, seorang wartawan yang melakukan pelanggaran terhadap undang-undang, dan kemudian dihukum, diadili dan dipenjarakan, masih dianggap sebagai “pahlawan” andai ia tidak melanggar kode etik. Peristiwa ini, bisa dilihat dari kasus Majalah Tempo yang memberitakan Tommy Winata, atau kasus wartawan kawakan Indonesia, Mochtar Lubis, dipenjarakan sembilan tahun oleh rezim Orde Baru, karena membongkar kasus korupsi di Pertamina. Begitu monumentalnya peran kode etik bagi seorang wartawan. Sebab, pelanggaran terhadap kasus pidanapun belum tentu merupakan pelanggaran kode etik yang menyangkut moral.
Itu artinya, jika Anda seorang wartawan yang akan melakukan tugas peliputan atau wawancara misalnya. Begitu Anda berangkat dari rumah atau dari kantor, Anda sudah harus ingat dan taat akan kode etik. Niat dan ittikad baik Anda, cara Anda melakukan peliputan atau wawancara, sampai pada mengolah dan menuliskan hasil liputan dan wawancara itu, seterusnya hingga berita itu diedit, dicetak, kemudian disiarkan, semua diatur kode etik, sebagai landasan moral. Kenapa?
Agar Anda tidak melakukan kesalahan, kecurangan atau tidak merugikan orang yang Anda beritakan. Kode etik mengatur semua tata cara bagi seorang wartawan dalam melakukan tugas jurnalistiknya. Kode etik merupakan suatu pedoman bagi wartawan agar tidak ikut bias dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Ditinjau dari segi pendekatan bahasa, “kode” berasal dari kata “code” (Inggris) yang berarti himpunan ketentuan atau peraturan atau petunjuk sistematis. Sedangkan “etik” berasal dari “ethos” (Yunani) yang berarti watak atau moral. Dari pengertian itu, secara sederhana etik diartikan sebagai:
Prinsip-prinsip atau tatanan berperilaku yang baik dari suatu kelompok masyarakat tertentu yang bersumber dari moral atau hati nurani.
Para ahli menyebut, wartawan merupakan salah satu profesi yang khas—seperti halnya dokter, rohaniawan, profesi hukum—dan memiliki tradisi sendiri di tengah perkembangan masyarakat. Untuk itulah, profesi-profesi ini, termasuk wartawan, perlu dilengkapi kode etik.
Kode etik jurnalistik merupakan perangkat aturan yang mengatur tata cara wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik. Aturan ini berlaku secara internal bagi kalangan wartawan di lingkungan organisasi pers saja. Tidak berlaku bagi masyarakat di luar wartawan. Kode Etik Jurnalistik milik PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) misalnya, hanya berlaku bagi wartawan yang anggota PWI.
Bagi wartawan yang tidak anggota PWI harus taat kepada Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJI) yang dirumusakan 26 organisasi profesi wartawan yang ada di Indonesia. Meskipun kode etik bukanlah perangkat hukum, tetapi penaatan terhadap kode etik jurnalistik ini, diatur dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999. Demikian juga dengan kewajiban seorang wartawan yang harus tergabung dalam satu organisasi profesi pers.
Mengingat tidak semua wartawan merupakan anggota PWI, maka yang dibahas dalam buku ini hanyalah Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJI) yang memang berlaku universal bagi seluruh wartawan Indonesia. Sebab, KEJI ini sudah merangkum semua tata cara yang dibutuhkan seorang wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Kesimpulan:
1. Kode Etik Jurnalistik berfungsi sebagai senjata bagi wartawan. Untuk itu, seorang wartawan harus berpegang teguh pada kode etik jurnalistik.
2. Kode etik merupakan rambu-rambu dan batasan sebagai sikap moral agar
wartawan tidak ikut bias dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
3. Banyak masalah yang dihadapi wartawan, termasuk tindak kekerasan dan kasus pelanggaran hukum bermula dari pelanggaran kode etik jurnalistik. Jika Anda ingin menjadi wartawan yang baik dan berhasil, pahami dan taati kode etik jurnalistik.
5.
Bebas, Adil dan Jujur
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita
yang akurat, berimbang, dan tidak berittikad buruk. (Pasal 1 KEJI)
Modal utama Anda sebagai wartawan adalah kebebasan untuk menulis dan memberitakan, apa saja. Tak perlu khawatir, karena kode etik menjamin hal itu, seperti tertera pada kata “independen” dalam Pasal 1 KEJI di atas.
Penafsirannya secara sederhana: independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan hati nurani. Tanpa campur tangan, paksaan dan intervensi dari pihak luar, termasuk pemilik perusahaan pers. Betapa besarnya, wewenang seorang wartawan yang diberikan kode etik. Tujuannya, agar informasi bisa benar-benar sampai ke tangan pembaca, atas upaya yang dilakukan seorang wartawan.
Namun, jangan dulu terlena dengan kebebasan itu. Setiap kebebasan pasti ada batasan.
Tidak ada kebebasan yang mutlak. Kebebasan, masih dibatasi oleh hati nurani. Hati nurani, pastilah sebuah standar yang sangat jujur dan tidak mungkin mengajurkan seseorang berbuat jahat. Kemudian persyaratan dari kata “akurat”. Yakni, berita yang ditulis harus dilengkapi data akurat. Artinya, bisa dipercaya. Sesuai dengan kenyataan objektif saat peristiwa itu terjadi. Bukan ditambah-tambah atau dikurangi nilai-nilai kebenaran peristiwa tersebut. Begitu juga dengan data yang mengiringinya, harus akurat dan sesuai fakta di lapangan. Kata “akurat” ini harus mampu mencerminakan kejujuran seorang wartawan dalam menulis berita.
Unsur keadilan menjadi kewajiban wartawan atas tuntutan kata “berimbang” pada kode etik ini. Seorang wartawan harus memberi kesempatan yang sama pada kedua belah pihak yang diberitakan. Tidak dibenarkan hanya menulis sepihak. Jika seseorang dinyatakan bersalah pun, meski sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan waratwan harus meminta konfirmasi lagi, agar azas perimbangan bisa terpenuhi dalam berita yang dia tulis.
Contoh klasiknya, pemberitaan both sides atas kasus perceraian. Wartawan yang menulis beritanya, meski sudah melalui putusan Pengadilan Agama, harus memberi perimbangan dan kesempatan yang sama kepada kedua belah pihak. Sekalipun pengadilan sudah nyata-nyata memutus perkara, dan menyatakan si Isteri misalnya, terbukti berselingkuh, toh harus diberi dia tempat membela diri dalam berita. Agar azas perimbangan benar-benar terwujud. Sebab, seorang wartawan tidak boleh terbawa “larut” dalam sebuah persoalan. Wartawan hanya punya hak menulis, memberitakannya. Bukan untuk memihak.
Berimbang berarti tidak berat sebelah. Kita maklumi, setiap yang tidak berimbang pastilah menimbulkan persoalan. Aapakah dalam memutus suatu perkara, menyelesaikan sengketa, pertandingan olah raga, perundingan dalam keluarga, termasuk orang tua yang mencurahkan kasih sayang yang tidak berimbang pada anak-anaknya, akan membawa dampak buruk. Apalagi menyangkut pemberitaan yang dibaca dan dipirsa atau didengar banyak orang.
Pada batasan lain, juga diharuskan seorang wartawan punya ittikad baik. Jangan sama sekali berniat merugikan dan “menjatuhkan” suatu pihak. Kearifan seorang wartawan memang dibutuhkan. Sebagai barometer, mengukur ada tidaknya unsur bertendensi merugikan suatu pihak dari berita yang ditulis. Bayangkan, jangankan membuat berita bohong atau berita yang menyudutkan, punya niat buruk saja, tidak dibenarkan kode etik.
Pada tahun 2005 silam, saya didatangi seorang pria agar saya memberitakan kasus sengketa keluargnya di Majlah FORUM Kerakyatan yang saya pimpin. Si Pria ini bungsu dari sembilan bersaudara. Ia merasa sebagian harta-harta warisan orangtuanya adalah miliknya, atas hibah kedua orangtuanya saat masih hidup. Namun, katanya harta itu dikuasai kedelapan saudaranya. Saya setuju memberitakan masalah yang sudah sampai di Pengadilan Agama Pekanbaru itu. Namun, saya tetap meminta konfirmasi kepada salah satu sudaranya yang mewakili tergugat. Berita naik.
Sepekan kemudian seorang pria berpostur besar mencari saya ke kantor redkasi majalah ini. Kami ketemu di rung kerja saya. Dia emosi dan menyebut apa yang dikalim dalam pemberitaan itu tidak benar sama sekali. Ternyata si Pria ini salah seorang daris embilan bersaudara itu. Ia menumpahkan amarahnya terhadap adeknya itu kepada saya. Saya mendengar dengan tekun apa yang dia bilang. Kemudian saya mintaa maaf dan menganjurkan dia menggunakan hak jawab. Tetapi dia menolak.
“Saya kira tak perlu,” katanya dengan nada bicara mulai merendah. “Bapak telah melakukan tugas bapak dengan baik. Bapak melakuakn konfirmasi dengan abang saya. Untuk itu saya tak bisa menyalahkan Bapak. Saya kemari memberi tau aja, bahwa adek saya itu tidka benar. Kalu boleh saya beli satu lagi majlah Bapak,” katanya.
Saat saya menolak menerima uang majalah itu, dia malah marah. “Majalah ini dicetak dengan uang Pak. Saya ini pengusaha percetakan,” katanya, seraya meninggalkan uang Rp 20 ribu. Kmeudian dia pamit dan minta maaf. Saya tak bisa membayangkan, andai berita itu ditulis tidak berimbang. Jangankan memberi kesempatan menggunakan hak jawab, emosinya pun mungkin tak bsia saya bendung.
Banyak persoalan mencuat, bermula dari pelanggaran Pasal 1 KEJI ini. Terutama menyangkut berita-berita politik, mengekspos sucses story seseorang. Dalam menulis dan memberitakan profil seorang yang akan maju dalam Pilkda atau Pemilu contohnya. Tendensi kebohongan dan “membesar-besarkan” prestasi sulit dihindari. Terlebih wartawan telah dititipi “amplop” oleh si Narasumber. Dengan demikian, unsur, “akurat” berimbang dan independen sulit dipenuhi.
Masalahnya, bisa muncul dari kepentingan. Baik kepentingan si Narasumber maupun kepentingan si Wartawan. Andai kata, berita profil demikian, bukan dimasukkan pada kategori berita jurnalisme, tetapi masuk dalam kategori iklan (pariwara) tidak jadi masalah. Silakan dia mengiklankan diri secara resmi, tanpa dimasuki unsur jurnalisme seorang wartawan. Sehingga si Wartawan terbebas dari kemungkinan bias dalam berita profil itu.
Jika hal-hal berbau pariwara dimasukkan dalam tugas-tugas jurnalistik, kemungkinan pelanggaran kode etik oleh wartawan cukup besar. Soalnya, menyangkut “pemberian” tadi.Ini bisa berdampak buruk. Bayangkan, andai ada pihak mengklaim, reputasi dan prestasi yang ditulis itu, ternyata bertolak belakang dengan kenyataan sebenarnya? Bukankah reputasi si Wartawan juga ternoda? Kredibilitas mediapun ikut bercak. Dari kasus seperti ini, sesungguhnya, sikap adil dan kejujuran wartawan diuji di tengah kebebasannya mengemban profesinya.
Seharusnya kita sepakat, bahwa kejujuran harus menjadi pilar yang mengawali sikap wartawan dalam kondisi apapun. Sikap jujur tidak muncul dengan sendirinya, begitu seseorang kemudian berubah profesi jadi wartawan. Kejujuran adalah sikap yang dibawa sejak kecil. Keujujuran merupakan proses pertumbuhan jangka panjang yang lahir dari perjalanan kehidupan yang dijalani seseorang. Sehingga, kejujuran menjadi benteng yang tidak tergoyahkan oleh godaan apapun.
Untuk itulah tampaknya, dari sebagian besar pesan moral yang diamanahkan kode etik jurnalistik selalu berbicara seputar kejujuran. Sebab, tidak mungkin, informasi tentang kebenaran muncul dari karya-karya jurnalistik seorang wartawan yang tidak memiliki kejujuran. Inilah yang jadi persoalan kita hari ini. Menipisnya nilai-nilai kejujuran turut memengaruhi produk jurnalisme yang dikonsumsi pembaca dari media massa yang terbit kompetitif.
Persoalan wartawan, masa kini, secara umum adalah saat kejujuran dikalahkan kebutuhan instan. Dan menempatkan kepentingan pribadi pada bentara kepentingan informasi khalayak yang senantiasa berharap pada produk jurnalisme seorang wartawan. Jika kita kembalikan pada imbauan Pasal 1 KEJI tadi, mau tidak mau, seorang wartawan memang harus jujur dan adil. Sikap adil itupun hanya bsia muncul atas keujuran yang dimilikinya.
Untuk itu pula Noorca Massardi, seorang wartawan kawakan Indonesia, saat memberi pengantar pada buku saya: Strategi Menembus Narasumber Mengatasi Konflik (2005) menyebut kunci utama seorang wartawan adalah kejujuran. Bila seseorang dari awal tidak memiliki sikap jujur dalam hidupnya, lebih baik batalkan niat menjadi wartawan. Selengkapnya mantan wartawan Kompas di Perancis ini menjelaskan:
Seorang wartawan profesional baru akan menjadi “baik dan benar” bila ia berakhlak baik, jujur ( terhadap diri sendiri; terhadap data, fakta dan opini yang dikumpulkannya tanpa memanipulasi atau memelintirnya; terhadap narasumber; terhadap lembaganya; dan terhadap pembacanya, serta tidak meminta dan atau menerima imbalan apa pun, dari siapa pun untuk berita yangd itulis atau berita yang tidak ditulisnya); dan menomorsatukan “kepentingan umum” ketimbang kepentingan kekuasaan atau pihak-pihak tertentu; termasuk kepentingan pribadi.
6.Jadilah Wartawan
Profesional!
Wartawan Indonesia, menempuh cara-cara profesional
dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
(Pasal 2 KEJI).
Jadilah wartawan profesional! Kalimat ini, sering terlontar dari mulut narasumber. Ironisnya, si Narasumber sedang marah saat mengungkapkan kalimat itu. Bisa ditebak, kemarahan itu bersumber dari wartawan yang mendatanginya, mungkin saja, tidak menunjukkan sikap profesional. Akibatnya, mengundang kejengkelan dan amarah.
Setuju atau tidak. Sikap-sikap wartawan yang membuat narasumber jengkel, dalam enam bulan terakhir selalu mengemuka. Parahnya, acap kali, si Wartawan tidak pula mau mengakui kesalahan, setelah terjadi “benturan” dengan si Narasumber. Lucu juga kedengarannya, upaya membela diri dari kelemahan, malah diberitakannya lagi di medianya, bahwa dia dihina, dilecehkan atau dipersulit. Padahal, mungkin juga sumber masalah, justru dari tingkah si Wartawan yang tidak profesional.
Lebih ironis lagi, jika si Wartawan mencoba mengadukan masalah ke pihak organisasi pers tempat dia bernanung. Lantas pemimpin organisasi, menerima mentah-mentah pengaduan si Wartawan. Kemudian, memberi komentar di media, dan mengecam tindakan si Narasumber. Makin runyamlah masalah. Biasanya, organisasi akan menanggapinya dengan “kekuasaan” yang dimilikinya. Tak mengherankan, jika berita-berita kecaman terhadap si Narasumber ramai di media yang mengutip komentar si Pemimpin organisasi.
Tetapi, tentu saja, kebanyakan masalah seperti ini tidak terselesaikan dengan tuntas. Sebab, sumber utama persoalan tidak pernah disentuh. Justru memaksakan penyelesaian dari permukaan. Bukan dari dasar. Jika ditelusuri dengan saksama, ternyata masalah-masalah seperti ini, lahir dari ketidakprofesionalan wartawan. Memang tidak selamanya.
Seorang wartawan profesional, tidak akan menghiraukan hal-hal spele menyangkut tugas jurnalistiknya pengemban nilai-nilai besar, sebagai pemburu informasi. Sebab, jika diaterpancing, hilanglah kesempatannya memburu informasi, saat itu. Wartawan profesional tidak cengeng. Tidak peduli dengan masalah kecil yang mencoba mengusik profesionalismenya sebagai wartawan sejati. Kecuali masalahnya sudah sangat vatal.
Penafsiran Pasal 2 KEJI:
Yang dimaksud dengan cara-cara profesional adalah:
a.Menunjukkan identitas diri kepada nara sumber.
b.Menghormati hak privasi.
c.Tidak menyuap
d.Menghasilkan berita faktual dan jelas sumbernya.
e.Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi
keterangan tentang sumber dan ditampilakn secara berimbang.
f. Menghormati pengalaman trauma narasumber dalam penyajian, gambar, poto dan suara.
g.Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya
sendiri.
h.Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi
bagi kepentingan publik.
Akui, Anda seorang Wartawan!
Meskipun tidak satu pasal pun dalam UU Pers, mengatur perihal kartu pers atau identitas diri bagi seorang wartawan, namun penjelasan KEJI khususnya Pasal 2, menyebut cara-cara profesional seorang wartawan harus selalu menunjukkan identitasnya kepada narasumber saat melakukan tugas jurnalistik. Kekecualian, mungkin hanya pada tugas investigasi.
Hal ini, bisa dimaklumi, untuk menghindari terjadi kesalahpahaman narasumber terhadap wartawan. Sebenarnya, ini masih menyangkut soal kejujuran juga. Wartawan harus mengaku jujur kepada narasumber bahwa dirinya adalah seorang wartawan. Intinya, informasi yang dia peroleh dari si Narasumber hanyalah diperuntukkan sebagai objek berita yang akan dimuat di medianya.
Tanpa menujukkan identias, memang sering, kemudian menimbulkan masalah. Sebab, bisa jadi si Narasumber, tidak merasa sedang berbicara dengan wartawan. Atau tidak sedang diwawancarai untuk kepentingan pemberitaan. Jika kemudian, muncul berita, si Narasumber akan terkejut dan merasa ditipu oleh si Wartawan.
Jika seorang merasa terkejut dan merasa ditipu, bisa dibayangkan kekecewan yang muncul. Syukur-syukur hanya kecewa dan hanya sebatas dia menggunakan hak jawabnya, sesuai prosedur. Bagaimana jika atas keterkejutan dan kekecewaan itu ia kemudian bertindak beringas? Hal seperti inilah yang harus dipahamai seorang wartawan.
Buktinya, tidak sedikit muncul persoalan dari masalah seperti ini. Memang ada kalanya, saat si Wartawan menjelaskan, bahwa dia adalah seorang wartawan, si Narasumber malah langsung “tertutup”dan tidak mau bicara lagi perihal informasi yang dibutuhkan si Wartawan. Tetapi, ini suatu masalah yang memang selalu dihadapi wartawan di lapangan.
Di sini pula, kejujuran wartawan kembali diuji. Apakah sebaiknya dia berbohong agar lebih mudah memeroleh informasi, tetapi kemudian membuat sumber berita merasa dibohongi? Lantas, akan berdampak pada kredibilitas wartawan dan medianya? Dari masalah seperti ini, sering pula muncul persoalan lain, saat berita sudah disiarkan. Masalahnya, tidak ada yang lebih menyakitkan, saat seorang narasumber merasa dibohongi.
Sebuah kasus terjadi tahun 1992, saat saya menjabat sebagai Redaktur Eksekutif di SKM Genta, Pekanbaru. Seorang reporter berinsial YM, menulis berita hasil wawancaranya dengan seorang pria (50-an), petugas kebersihan kota. Berita yang semata-mata membela kepentingan si Narasumber dan kawan-kawannya sesama petugas kebersihan itu, dimuat lengkap dengan potonya. Poto saat narasumber menyapu di salah satu jalan di Kota Pekanbaru.
Namun, saat koran beredar, justru heboh. Pria yang di dalam berita menyebut dirinya tidak menerima gaji yang layak dan malah sering tersendat-sendat itu, mencarisi Wartawan ke kediamannya. Pagi-pagi sekitar pukul 5.30 WIB, YM terpaksa melarikan diri, lewat jendela belakang rumah sewaannya, setelah mengintip dari celah dinding rumah, si Pria menggedor keras pintu rumahnya, dengan sebilah parang terhunus. “Mana wartawan kurang ajar itu?” tanyanya dengan suara keras.
Tinggal isteri si Wartawan dengan wajah pucat, menanyakan apa yang terjadi terhadap suaminya. “Suami ibu memberitakan saya di koran. Saya tidak tahu dia itu wartawan. Sekarang saya diberhetikan majikan saya,” katanya. Begitulah. Lama juga YM merasa terusik karena diuber-uber. Hingga akhirnya masalah itu terhenti begitu saja. “Terserahlah! Saya hanya ingin menolong dia. Jika saya sebut saya wartawan, dia tak mau bicara tentang masalah mereka,” kata YM.
Tidak selamanya niat baik berbuah baik. Dalam kasus seperti ini, sebaiknya wartawan menempuh cara lain agar informasi diperoleh. Butuh upaya lagi, butuh waktu lagi. Harus bersabar, memang. Kesabaran sering sekali, buah dari profesionalisme. Toh, dalam kondisi demikian Anda sebagai wartawan tidak boleh menyuap seseorang agar Anda mendapatkan informasi. Cara ini dilarang sama sekali. Menyuap, disuap. Menyogok, disogok, bukan bagian sikap seorang wartawan.
Wartawan memang butuh strategi. Strategi jitu yang dimainkan dalam profesinya, dengan tetap berada pada koridor kode etik. Tidak menyuap, tetap menghargai privasi seseorang dan selalu menunjukkan identitas serta memberitahu narasumber.
Pada Pasal 2 KEJI ini soal perimbangaan dan asas keadilan kembali dituntut. Khususnya soal pemuatan teks poto pendukung atau poto dan gambar rekayasa pendukung berita dan tayangan harus berimbang dari pihak-pihak yang dimuat poto dan gambarnya. Jangan mentang-mentang dalam poto, ada poto pejabat dan penguasa, lebih besar porsi keterangannya, sementara orang-orang “biasa” tidak dibuat teks-nya sama sekali. Juga menyangkut berita-berita kasus. Harus ada perimbangan kedua belah pihak.
Hal terpenting lagi, harus menghargai pengalaman traumatika seseorang, yang mungkin pernah merasa “tertekan” jiwanya akibat pemuatan potonya di media. Pertimbangkan juga kepentingan orang. Orang-orang yang pernah trauma, bisa berdampak jangka panjang bagi perkembangan jiwanya. Intinya, jangan selalu menempuh jalan tol, jika tujuannya agar Anda lebih mudah mendapatkan informasi. Pikirkan dampaknya. Intinya, hanya, cara-cara profesional yang membuahkan produk jurnalisme profesional. Masalahnya, sederhana: Akui Anda seorang wartawan.
Faktual, sumbernya jelas.
Wartawan profesional adalah wartawan yang menulis berdasarkan fakta. Bukan menulis isu dan gunjingan orang. Tugas wartawan, sesungguhnya, merekonstruksi kembali fakta-fakta sebuah peristiwa. Artinya, ada dulu peristiwanya, kemudian wartawan akan menulis fakta di balik peristiwa itu.
Tentu saja, tidak semua, atau sangat jarang, peristiwa terjadi di depan mata wartawan. Itu artinya wartawan harus merekonstruksi fakta-fakta peristiwa itu, dari hasil reportase dan saksi mata atau sumber berita yang mengetahui persis jalannya peristiwa itu. Apapun berita yang ditulis harus faktual. Berdasarkan fakta semata, dan sumbernya harus jelas.
Menulis berita pembunuhan misalnya. Jangan hanya, menjadikan polisi sebagai sumber berita. Sebab, polisi tentu saja tidak melihat peristiwa itu terjadi. Polisi hanya pihak yang dilapori. Kemudian menerima laporan berupa informasi peristiwa, dari orang-orang yang belum tentu, sepenuhnya jujur memberi laporan kepada polisi.
Dan bisa juga, ada kalanya, polisi perlu “menyembunyikan” informasi untuk sementara, demi kepentingan penyidikan. Untuk itu, harus mencari sumber yang jelas, agar berhasil mendapatkan informasi peristiwa pembunuhan itu. Apakah di lokasi kejadian, dari saksi mata, pihak keluarga dan sebagainya. Lantas, cek lagi dengan pelaku, jika sudah tertangkap dan ditahan polisi. Artinya, wartawan hanya menghasilkan berita faktual dan sumbernya jelas. Bagaimana pembunuhan itu dia lakukan, menurut versi dia.
Apapun yang ditulis harus berdasarkan fakta melalui narasumber yang jelas orangnya, identitasnya dan kredibilitasnya. Jika meminta tanggapan dengan pengamat atau komentar anggota dewan misalnya, harus didahului fakta yang terjadi di lapangan. Jadi, si Wartawan meminta komentar harus berdasarkan fakta yang terjadi. Bukan atas isu yang berkembang. Apalagi, mengembangkan isu melalui komentar orang-orang yang berambisi tampil di media massa. Cara ini, bukan cara wartawan profesional.
Saat ini lagi “ngetren” media yang mengembangkan pemberitaan isu yang lagi hangat. Fakatnya, belum tentu jelas, tapi sudah dikembangkan melalui komentar-komentar pengamat. Sebenarnya, pengamat tidak pula salah. Mereka didatangi dan diwawancarai. Jika mereka tidak berkomentar, nanti dinilai wartawan tidak mendukung kinerja pers. Akhirnya, berkembanglah isu dan melibatkan orang-orang intlek pula. Padahal, kadang kala, faktanya belum ada. Baru sebatas isu.
Jangan jadi plagiator.
Plagiat artinya menjiplak. Plagiator berarti mencuri hasil karya orang lain, kemudian dinyatakan sebagai hasil karya sendiri. Tidakan ini merupakan tindakan sangat tidak terpuji dan memalukan. Untuk itu, seorang wartawan sangat dilarang melakukan plagiat. Baik atas hasil tulisan, apalagi berupa hasil kinerja jurnalistik. Wartawan profesional, tidak pernah melakukan tindakan plagiat.
Di era teknologi informasi saat ini, saat informasi begitu mudahnya diakses lewat internet, tindakan plagiat, memang punya peluang. Seorang wartawan bisa dengan mudah meng-klik di komputer sudah berhasil mengambil berbagai materi tulisan atau hasil karya jurnalistik orang lain. Namanya, mencuri, tidak pula langsung ketahuan. Sehingga, membuat para plagiat doyan.
Tetapi, percayalah! Kecurangan, suatu saat, pasti terungkap. Betapa memalukannya, andai seorang wartawan ketahuan menjimplak hasil karya orang lain, demi kepentingan diri sendiri. Malah, bisa berdampak lebih parah, saat pemilik karya menggugat sebagai tindakan pidana sesuai UU Hak Cipta. Dendanya Rp 500 juta, lo?!
Tindakan plagiat juga bukti ketidakjujuran dan kemalasan. Dua sifat yang sangat bertentangan dengan sikap seorang wartawan profesional. Seorang wartawan profesional adalah wartawan jujur dan pekerja keras. Sekali lagi: Jujur dan pekerja keras. Tanpa dua sikap ini, tidak mungkin seseorang menjadi wartawan sukses. Sukses berarti menjauhi tindakan pencurian seperti melakukan penjiplakan alias plagiator. Itu memalukan!
7. Anda, Bukan
Seorang Hakim...
Wartawan Indonesia, selalu menguji kebenaran informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi serta menerapkan asas praduga tak bersalah. (Pasal 3 KEJI)
Wartawan menulis berdasarkan fakta. Wartawan menulis berita berdasarkan keterangan sumber berita yang jelas. Bukan menulis berdasarkan penafsiran sendiri. Apalagi, menuliskan berdasarkan opini (pendapat) pribadinya sendiri. Sama sekali tidak dibenarkan. Itu sama dengan “menghakimi” atau memberi vonis atas suatu peristiwa. Anda seorang wartawan. Bukan seorang hakim.
Beda dengan interpretasi wartawan atas fakta-fakta peristiwa atau lebih lazim disebut opini interpretatif. Opini interpretatif ini, diperlukan untuk menulis reportase atau deskripsi atas sebuah peristiwa atau kejadian, yang memang sesuai fakta-fakta di lapangan. Contohnya, seorang wartawan menuliskan gambarannya atas terjadinya sebuah kecelakaan. Apakah dia menulis berdasarkan apa yang dilihatnya. Atau menulis deskripsi atas penuturan sumber yang menyaksikan peristiwa itu. Hal seperti ini dibenarkan.
Pendeskripsian demikian bisa diperoleh jika si Wartawan melakukan pengujian kembali atas informasi. Untuk itulah seorang wartawan harus bersikap skeptis. Tidak langsung percaya atas informasi yang diperolehnya. Tetapi sebaiknya, terlebih dulu menguji kebenarannya. Melakukan chek and rechek ke pihak-pihak, yang diduga mengetahui atau terlibat dalam peritiwa yang dimaksud informasi tersebut.
Apakah memang benar adanya, sesuai informasi awal yang diperolehnya. Atau malah justru sebaliknya. Tugas memeriksa dan menguji kembali inilah yang menjadi tolok ukurnya. Bisa dibayangkan andai seorang wartawan memberitakan sebuah peristiwa yang dia sendiri tidak menguasai informasi peristiwa itu. Padahal, dari sebuah berita--pembaca harusnya mengetahui informasi sebuah peristiwa memang benar-benar terjadi--setelah membacanya.
Dalam kinerja jurnalistik, istilah chek and rechek ini, juga lazim disebut dengan istilah meminta konfirmasi (meminta pembenaran) atas masalah yang ditulis. Melakukan tugas “meminta konfirmasi” menjadi suatu keharusan, sesuai amanah Pasal 1 KEJI, juga di ulangi di Pasal 3 KEJI ini. Yakni, asas perimbangan, tampaknya merupakan hal penting melalui kata “berimbang” yang dalam penafsirannya memiliki maksud memberikan ruang dan waktu pemberitaan masing-masing pihak secara proporsional.
Kehati-hatian wartawan sangat perlu menghindari terjadinya trial by the press: penghakiman lewat pers. Jika ini dilanggar, bukan hanya pelanggaran terhadap kode etik, juga bisa merembes terhadap pelanggaran undang-undang. Itu artinya, seorang wartawan bisa terjebak tindak pidana. Masalhnya, bisa lebih runyam, jika kemudian kelak berujung pada proses hukum dan gugatan perdata.
Untuk itu pula, asas paraduga tak bersalah meski diterapkan. Yang dalam kinerja jurnalistik ditafsirkan sebagai tindakan wartawan yang tidak menghakimi seseorang melalui berita yang ditulisnya. Begitu sempurnanya etika kinerja jurnalistik, sebagai upaya menjaga hak-hak asasi orang lain agar tidak turut dikorbankan dalam semua rangkaian kinerja jurnalistik ini. Seperting apapun informasi yang harus disampaikan, menjaga hak asasi dan kehormatan seseorang, ternyata jauh lebih utama.
Seorang pembunuhpun yang nyata-nyata melakukan pembunuhan di depan mata kepada si Wartawan, toh si Wartawan tidak dibenarkan menulis berita dengan memvonnis yang bersangkuatan melakuakn pembunuhan. Harus disertai kata diduga. Jika sudah dinyatakan sebagai tersangka, harus disebut tersangka pembunuhan, jika sudah diadili, ditulis sebagai terdakwa pembunuhan, jika sudah diputus pengadilan dan yang bersangkutan menerima putusan atas hukumannya (incratch), misalnya, barulah dia disebut sebagai terpidana pembunuhan.
Nah, bagaimana jika terdakwanya banding ke pengadilan tinggi? Dia disebut sebagai terdakwa pembunuhan berstatus banding. Sampai kemudian dia melakukan kasasi pun, ditulis sebagai terdakwa pembunuhan berstatus kasasi. Dia kemudian ditulis sebagai terpidana pembunuhan jika telah menerima putusan hakim di tingkat pengadilan manapun. Hal ini sangat penting diperhatikan, agar tidak sampai melanggar asas parduga tak bersalah.
Penerapannya sama buat peristiwa lainnya. Tidak hanya berlaku terhadap kasus kejahatan. Juga menyangkut kasus-kasus lain, seperti bencana alam, penyaluran bantuan, wabah penyakit, kecelakaan dan sebagainya. Jangan sekali - kali menghakimi berdasarkan opini dan pendapat sendiri. Jika Anda tidak mengetahui masalah, silakan hubungi atau wawancara pihak berwenang dan orang yang paham akan masalah itu.
Jika Anda tahu persis persoalannya pun, tak dibenarkan membuat opini sendiri. Gunakan sumber berita kompeten dan yang jelas identitasnya. Mintai komentarnya atas peristiwa itu. Anda seorang wartawan yang bertugas merekontruksi peristiwa sekaligus meminta komentar orang berkompeten atas peristiwa itu. Anda tidak berhak memberi vonnis atas peristiwa yang Anda tulis. Sebab, Anda bukan seorang hakim. Yang mengubah pena jadi palu.
8.Hindari Bohong,
Fitnah, Sadis
dan Cabul
Wartawan Indonesia, tidak membuat berita bohong, fitnah sadis dan cabul. (Pasal 4 KEJI)
Lagi-lagi kejujuran wartawan diuji di pasal ini. Kebohongan salah satu tindakan tidak terpuji. Jika seorang wartawan membuat berita yang dia sendiri sudah tahu sebelumnya bahwa fakta sebenarnya tidak seperti yang dia tulis, berarti dia telah menulis berita bohong.
Kebohongan seperti ini, harus diakui, sering dilakukan wartawan. Terlebih wartawan yang ingin membesar-besarkan masalah, agar berita itu lebih menarik dan menghebohkan. Dia sengaja membuat peristiwa itu kelihatan lebih parah dari yang sesungguhnya. Tujuannya, agar dia dinilai telah memperoleh berita besar. Padahal, dia sendiri berbohong.
Kebohongan disini, kerap kali bukan kebohongan sesungguhnya. Tetapi, bisa dari berita yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Misalnya, seorang penjembret ditulis menendang korban sesaat setelah dia berhasil merampas tas milik korban. Padahal, fakta sesungguhnya, bukan demikian. Justru si Korban yang menendang sepeda motor jambret hingga korban terelanting ke dalam paret. Yang berkibat luka-luka di bagian wajah dan kepalanya.
Tetapi wartawan mungkin tidak menulis berdasarkan fakta. Wartawan yang mungkin ingin pembaca lebih manruh kebencian kepada pelaku menulis rekonstruksi atas kebohongan. Sehingga terkesan, luka-luka pada tubuh korban akibat tendangan penjambret. Hal seperti ini, masuk kategori bohong. Dan tidak dibenarkan. Meski penjambret adalah seorang penjahat, toh wartawan tidak seenaknya, membuat kebohongan atas perilakunya.
Sebab, kebohongan demikian, bisa jadi berdampak panjang. Jika kemudian si Penjambret ditangkap dan diadili, dan penegak hukum sempat pula terpengaruh berita bohong tadi, tentu ada dua kesalahan yang ditimpakan kepada Si Penjambret sekaligus penyebab luka-luka yang diderita korban. Tulislah apa adanya, sesuai fakta. Jangan berbohong, jangan menulis berita berdasarkan kebencian.
Kebohongan juga bisa muncul dari kemalasan. Wartawan yang malas melakukan reportase, atas sebuah peristiwa, cenderung mereka-reka kejadian. Seperti sering terjadi pada berita yang ditulis hanya berdasarkan keterangan seorang narasumber. Misalnya berita tentang tewasnya seorang buruh pabrik batu-bata karena diduga tertimbun tanah saat menggali bahan bata.
Seorang wartawan yang malas melakukan reportase ke lokasi kejadian, biasanya hanya meminta informasi dari polisi. Polisi juga akan memberi info sesuai pengetahuannya atas peristiwa itu. Kita yakini, polisi yang tidak pula turun ke lokasi, tentu sangat terbatas pengetahuannya tentang peristiwa itu. Saat wartawan bertanya tentng kronologisnya, mungkin saja polisi tidak tahu.
Si Wartawan yang enggan ke TKP, kemudian langsung menulis beritanya. Sementara dia akan menulis reka-reka alias kebohongan atas fakta kronologis kejadiannya. Ia akan membuat perkiraan dia sendiri, berupa opini, hingga jalannya peristiwa yang menyebabkan korban tewas tertimbun tanah longsor, terkesan lebih logis. Padahal, faktanya tidak demikian. Ini sama saja dengan bohong.
Padahal, jika dia sedikit berkorban waktu dia bisa ke TKP melihat lokasi kejadian dan mewawancarai orang-orang sekitar TKP. Pastilah mereka itu lebih tahu fakta yang terjadi. Karena mereka saksi mata peristiwa itu. Dengan demikian si Wartawan akan terhindar dari kemungkinan bohong. Karena telah mendatangi langsung TKP dan para sumber utama peristiwanya.
Berita Fitnah.
Berita fitnah, berarti berita yang ditulis atas tuduhan tanpa dasar yang dilakukan seseorang secara sengaja dengan niat buruk. Menuduh seseorang melakukan suatu kesalahan atau kejahatan kemudian diberitakan di media massa, tidak pula dilengkapi konfirmasi dengan pihak tertuduh, ini benar – benar berita fitnah.
Hal-hal berbau fitnah tidak boleh diberitkan wartawan. Jangankan dilengkapi konfirmasi dari pihak tertuduh, tuduhan tanpa dasar yang lengkap dengan konfirmasinyapun tidak boleh disiarkan, karena masuk dalam kategori fitnah. Biasanya, berita fitnah muncul karena wartawannya menggantungkan kepentingan atas pemuatan berita itu. Tanpa itu, tak mungkin sesuatu yang bersifat fitnah berubah jadi berita.
Sebut saja berita tentang propaganda saat wartawan telah dititipi sejumlah uang. Dengan menerima sejumlah uang, apapun dia lakukan atas bayaran uang yang diterimanya. Bulan Januari 2009, sebuah surat kabar terbitan Pekanbaru, memuat berita hasil ekspose sebuah instansi. Pejabat di instansi itu menyebut pihaknya telah membantu sejumlah dana kepada seorang pengusaha ekspor hasil pertanian.
Berita terbit, suasana heboh. Setidaknya, menghebohkan si Pengusaha, yang ternyata tidak pernah merasa dibantu oleh si Pejabat. Seorang wartawan dari media yang saya pimpin, melakukan chek and rechek ke semua sumber yang terlibat dalam pemberitaan itu. Mulai dari pengusaha, pejabat sampai ke wartawan yang menulis beritanya.
Akhirnya, saat diwawancarai si Wartawan yang memuat berita itu, mengakui, dia menerima informasi utuh berupa tulisan dari si peabat. Dan tulisan itu dimuat utuh tanpa lebih dulu meminta konfirmasi ke pengusaha. “Terus terang, saya hanya menerima tulisan dan dimuat utuh,” kata si Wartawan. Pertanyaannya, kenapa si Wartawan mau berita itu dimuat menggunakan namanya sebagai penulis berita, padahal fakta yang ditulisnya tidak benar? Bukankah ini fitnah?
Tentu saya tidak berani menuduh si Wartawan telah menerima uang dari si Pejabat. Saya hanya mempertanyakan: kok tega-teganya memuat berita fitnah tanpa lebih dulu meminta konfirmasi ke pihak pengusaha sebagai “korban”? Ini salah satu contoh kasus. Masalah -masalah politik, tampaknya mendominasi hal-hal seperti ini. Namun, semuanya berpulang kepada si Wartawan. Yang dalam kode etik, memang dilarang memuat berita fitnah.
Jauhi berita dan poto cabul
Jauh-jauh hari sebelum disahkannya Undang – Undang Anti Pornografi Tahun 2008, kode etik jurnalistik telah melarang wartawan menulis berita cabul alias porno. Namun, wartawan yang melanggar etika ini, apa boleh buat, masih terus mempertontonkan karya - karya jurnalistiknya di berbagai media massa. Tampaknya, karya jurnalistik berbau porno itu didominasi pemuatan gambar. Baik di media cetak maupun di media elektronik gambar, seperti tele visi.
Dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999 Pasal 5 Ayat 1:
Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini diatur dalam Pasal 18 Ayat 2, berupa pidana denda paling banyak Rp 500.000.000. (lima ratus juta rupiah).
Wartawan sebagai ummat beragama, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan yang berkembang di tengah masyarakat. Meskipun hal ini masih bisa berdalih bahwa tidak semua hal yang porno di sebuah daerah sekaligus merupakan hal porno pula di daerah lain. Lain lubuk, tentu lain pula ikannya.
Tetapi pemahaman terhadap hal-hal berbau porno harus benar-benar menjadi perhatian. Jangan sampai, akibat pemberitaan yang berbau porno rasa kesusilaan masyarakat, jadi terusik.
Karena dalam kode etik masalah pornografi tidak diatur batasan–batasannya dengan jelas, baiknya merujuk kepada pengertian pornografi dalam undang-undang yang mengaturnya. Dalam Pasal 1 UU Anti Pornografi No. 44 Tahun 2008, dijelaskan pengertian pornografi:
Gambar, sketsa, illustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan jasa pornografi dalam undang-undang itu:
Segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
Pelanggaran terhadap ketentuan itu, termasuk menyiarkannya di mesdia massa, diancam sanksi pidana dan dan denda. (Untuk lebih jelas lihat: UU No.44 tahun 2008)
Dengan adanya batasan yang jelas, wartawan perlu memahami dan memperhatikan masalah pornografi ini lebih serius. Wartawan profesional dan memiliki integritas, tentu saja, bukan wartawan cabul dan wartawan porno. Yang mencoba membangkitkan berahi pembaca lewat kinerja jurnalistiknya. Hindari ini, karena bertentangan dengan etik jurnalistik.
9.Lindungi Korban Susila
Hargai Anak, Pelaku Kejahatan
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan (Pasal 5 KEJI)
Karena dorongan mendapatkan informasi akurat dan lengkap, sering wartawan menuliskan identitas lengkap orang-orang yang menjadi objek pemberitaannya. Padahal, khusus penulisan berita kejahatan ada kekecualian. Pengecualian itu berlaku bagi korban kejahatan susila. Dan, meskipun pelaku kejahatan, jika masih anak-anak, tidak boleh ditulis identitasnya.
Dalam penafsiran Pasal 5 KEJI dijelaskan:
Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. Sedangkan yang dimaksud “anak” adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Penjelasan dalam penafsiran itu, sesungguhnya sudah bisa jadi rujukan. Menaati kode etik, tidak mungkin sempurna, jika hanya membaca teks pasal demi pasal. Harus dibaca dan dipahami penjelasan seperti tertera dalam penafsirannya. Pemahaman sekilas, bisa mengakibatkan kerugian bagi orang lain sekaligus pelanggaran terhadap kode etik. Ada banyak kasus sebagai bukti ketidaktaatan terhadap imbauan ini.
Pelanggaran Pasal 5 KEJI, sering dijumpai pada penulisan–penulisan berita kriminalitas, khususnya menyangkut korban susila dan pelaku kejahatan yang dilakukan seorang anak. Ada kalanya pelanggaran itu tidak total. Artinya, seorang wartawan yang menulis berita tentang kejahatan susila, memang, tidak menuliskan nama lengkap korban. Namun, mungkin juga tanpa disadarinya, identitas korban tetap saja tertera dalam berita itu.
Sebagai contoh. Seorang gadis usia 15 tahun menjadi korban pelecehan seks seorang pria berusia 24 tahun. Nama korban dalam berita tersebut, memang tidak ditulis alias disamarkan saja. Atau ada yang memendekkan nama menjadi inisial. Jika nama sebenarnya, korban susila itu adalah Rosa misalnya, wartawan mungkin akan membuat inisial dengan menyingkatkannya menjadi Rs. Pencantuman inisial atau penggunaan nama samaran, sekilas, sepertinya merupakan bukti ketaatan pada kode etik jurnalistik.
Tetapi, dalam berita itu, korban disebutkan sebagai siswi salah satu SLTP swasta di Pekanbaru. Kemudian, alamat rumah korban juga ditulis, berikut nama orang tuanya. Lantas, menuliskan peristiwanya secara detail dan lengkap. Hingga pembaca memperoleh informasi utuh atas apa yang dialami korban. Sedangkan identitas pendukung dicantumkan pula. Hal seperti ini sering terbaca di media.
Jika sudah demikian lengkapnya atribut dicantumkan, apakah ini tidak sama saja dengan menulis identitas korban kejahatan susila? Padahal Pasal 5 KEJI, melarang hal seperti itu. Sebab, pengertian identitas itu, bukan hanya menyangkut nama lengkap. Juga segala sesuatu yang membuat orang lain bisa terbantu untuk melacaknya.
Demikian halnya dengan kejahatan yang dilakukan orang yang belum dewasa. Yakni, belum berusia 16 tahun atau belum menikah. Mereka ini, kenyataannya, sering menjadi “korban” pemberitaan. Ada juga pengaruh “kebencian” wartawan, tampaknya dalam masalah ini. Unsur subjektivitas, sering turut mewarnai berita yang ditulis. Padahal, menurut etika, seorang wartawan tidak boleh menulis berita berdasarkan kebencian.
Seorang bocah yang dihajar massa saat tertangkap tangan mencuri seng bekas di halaman rumah seorang pejabat di kawasan Labuh Baru, Pekanbaru, tahun 2000 silam, identitasnya ditulis dengan lengkap oleh hampir semua media harian terbitan Pekanbaru. Padahal, pelaku dugaan pencurian itu, kemudian diketahui adalah seorang anak yatim, baru berusia 11 tahun murid kelas IV SD.
Jika ditilik dari sisi kemanusiaan, betapa dahsyatnya keberingasan massa yang ditimpakan ke tubuh ringkih bocah ini. Seorang bocah bertubuh ceking berpaian kusam, yang tidak memiliki alternatif lain memenuhi kebutuhannya. Terpaksa menerima perilaku tidak manusiawi dari sekelompok orang “kuat’. Namun, lebih dahsyat pula”penghakiman” pers yang dierimanya secara serentak keesokan harinya.
Saat peristiwa itu terjadi, saya bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Harian Media Riau, Pekanbaru. Seorang reporter, kemudian saya tugasi melakukan investigasi untuk mengetahui siapa sebenarnya bocah ini. Kenapa pula dia mencuri? Hasil investigasi itu, ternyata mengharukan juga. Ternyata, ia mencuri untuk membayar uang sekolahnya dan uang sekolah adeknya yang duduk dibangku kelas III SD. Ibunya, seorang tukang cuci pakaian tetangga, tidak punya dana memenuhi tuntutan uang sekolah kedua anaknya.
Dalam tatanan etik jurnalistik, korban susila dan kejahatan yang dilakukan anak – anak, sesungguhnya, memiliki tempat khusus yang harus dilindungi dan dihargai. Perlindungan di sini bukan berarti menutupi semua informasi menyangkut korban. Tetapi, yang utama adalah penyembunyian segala identitas menyangkut dirinya, pribadinya dan semua atribut yang memudahkan orang mengenalinya, agar korban tidak merasa malu dan trauma karena merasa telah dikenali orang lain, akibat pemberitaan tersebut.
Unsur kemanusiaan demikian pula yang menempatkan anak–anak pelaku kejahatan berada pada posisi “dihargai”. Penghargaan tentunya bukan pada aspek kejahatan yang dilakukannya. Tetapi, lebih pada upaya menghindari, si Anak kelak traumatis atas apa yang dia lakukan. Dan kerap kali, kejahatan anak–anak, bukanlah cerminan perilaku penjahat sesungguhnya.
Untuk itu, sebagai seorang wartawan: Lindungi korban susila, hargai anak pelaku kejahatan.
10. Hindari “Amplop” &
Waspadai Pemberian
Wartawan Indonesia, tidak menerima suap
dan tidak menyalahgunakan profesi. (Pasal 6 KEJI)
Tidak ada persoalan paling pelik selain masalah amplop. Begitu populernya istilah ini di kalangan pers. Sampai-sampai, tip berupa uang tunai yang diberikan narasumber kepada wartawan diidentikkan dengan amplop. Karena, sejumlah uang pemberian itu, memang dimasukkan dalam amplop.
Dalam kode etik jurnalistik, memang tidak ada larangan menerima amplop atau sejenis pemberian. Yang dilarang adalah tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi. Jika dilihat penafsirannya, yang dimaksud dengan suap adalah segala bentuk pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempenagruhi independensi.
Rasanya batasan suap dalam penafsiran kode etik ini dipersempit saja. Sebab, jika semata–mata bersandar pada pengertiannya, batasan pengertian suap lebih longgar. Hal-hal yang berhubungan dengan pemberian narasumber bisa ditafsirkan bukan suap. Akibatnya, wartawan akan menyiasati batasan tersebut. Dan, malah lebih doyan menerima pemberian dari pihak lain.
Memang benar. Sepanjang pemberian itu tidak memengaruhi independensi wartawan, tidak masuk dalam kategori suap. Namun, satu hal yang perlu dipertanyakan: apakah mungkin independensi seorang wartawan tidak terpangaruh jika dia sudah menerima uang dalam jumlah besar misalnya, dari seorang narasumber? Saya kira, ini satu hal yang perlu diwaspadai seorang wartawan.
Masalahnya, apapun dalihnya, setuju atau tidak, yang namanya pemberian, akan berdampak buruk bagi sikap dan kreativitas wartawan. Malah, bisa dikatakan akan sangat merusak citra wartawan itu sendiri. Banyak bukti-bukti yang terjadi. Dan akibatnya, memang sangat merusak kinerja wartawan. Padahal, dia tidak melanggar kode etik seperti diamanahkan Pasal 6 KEJI ini. Sebab, batasan suap dalam pengertian kode etik itu adalah yang tidak memengaruhi independensi wartawan.Toh, yang namanya pemberian, apalagi dalam bentuk uang, ternyata tidak sederhana. Pemberian pasti berpengaruh.
Contohnya, seorang wartawan saat meminta konfirmasi dugaan penyelewengan atau dugaan kejahatan yang dilakukan seseorang. Pada saat itu, orang yang berposisi sebagai terkonfirmasi itu, dengan cara halus menawarkan pemberian sejumlah uang, tetapi dia mengatakan pemberian itu tidak akan memengaruhi indpendensi wartawan yang meminta konfirmasi kepadanya.
Lantas, si Wartawan menerima pemberian, karena memang tidak akan memengaruhi berita yang akan ditulisnya. Berita, kemudian ditulis dan dimuat di media. Dugaan kejahatan atau penyelewengan si Narasumber itupun, terbeber kepada khalayak. Artinya, si Wartawan, sesuai kode etik jurnalistik, sudah menjalankan tugasnya dengan benar. Namun, apakah persoalan kemudian selesai?
Rasanya belum. Justru bisa menjadi awal persoalan baru dan memakan waktu panjang, melelahkan. Sebab, jika seseorang merasa terancam akibat pemberitaan itu, dia akan bertindak, untuk melindungi dirinya. Seperti kata pepatah: Saat seseorang akan tergelincir di tebing yang curam, apapun akan dia jadikan sebagai pegangan. Artinya, dalam kasus pemberian uang tadi, bisa jadi dia akan menyebut bahwa dia sebenarnya telah memberikan sejumlah uang kepada wartawan. Kok masih diberitakan?
Yang lebih parah, justru wartawan kerap kali mendatangi seseorang yang berkasus lantas meminta imbalan dengan jaminan tidak akan terbeber kasusnya di media. Tahun 1994, saat saya memulai karir di Majalah FORUM Keadilan, seorang wartawan menjamin kepada seorang pengusaha, bahwa kasus moral si Pengusaha tidak akan diekspos media massa. Si Wartawan kemudian menerima sejumlah uang.
Namun, jaminan itu tidak ampuh. Saya yang saat itu mengawali karir di media besar, menulis kasus si Pengusaha, karena seorang wanita yang diduga korban si Pengusaha ini, sangat menderita. Begitu kasus tersiar, istri si Pengusaha mendatangi wartawan yang berlagak back king-an itu. “Tolong tanggalkan ban mobilmu ini sekarang, karena dana untuk membeli ban mobilmu ini dari uang yang saya berikan dulu,” kata istri si Pengusaha marah-marah, seraya menendangi ban mobil si Wartawan.
Sangat banyak persoalan yang mencuat dari “per-amplop-an” ini. Karena masalah amplop, pemberian, hadiah jatah dan sebagainya, dalam profesi wartawan memang sangat rentan. Ada aliran yang menyetujui peneriamaan amplop atau pemberian narasumber buat wartawan. Golongan wartawan demikian menilai sepanjang tidak memengaruhi pemberitaan, pemberian sah-sah saja. Dalihnya, batasan penafsiran kode etik tadi.
Tetapi ada juga kelompok wartawan, meski sedikit, yang sangat tegas dengan penolakan amplop ini. Apapun dalihnya kelompok wartawan ini tetap menolak dengan tegas segala bentuk pemberian dari narasumber. Sebab, mereka menganggap, yang namanya pemberian pasti akan mengusik objektifitas penulisan berita. Harga diri seorang wartawan, bsia dilihat dari apakah dia menerima amplop tau tidak.
Yang paling penting sebenarnya, sebagai wartawan kita mesti paham dampak buruk pemberian narasumber. Mengikat atau tidak, kalau bisa, hindari saja.
Jangan salahgunakan profesi!
Penyalahgunaan profesi, tentu saja bukan monopoli wartawan. Banyak oknum dari profesi lain seperti dokter, guru, dans ebagainya menyalahgunakan profesinya demi kepentingan pribadi dan kelompok. Dalam kode etik jurnalistik yang dimaksud penyalahgunaan profesi adalah mengambil keuntungan dari informasi sebelum informasi itu diberitakan di media.
Penafsiran ini tampaknya sudah jelas memberi larangan kepada wartawan agar jangan sekali-kali memanfaatkan informasi sebelum informasi disiarkan kepada khalayak pembaca. Sebenarnya, informasi yang diburu kemudian sudah dalam genggaman wartawan telah menjadi milik masyarakat. Wartawan bekerja untuk memenuhi keingintahuan masyarakat, dengan demikian semua bentuk informasi yang dia peroleh harus disiarkan kepada masyarakat pembaca.
Penyalahgunaan profesi muncul sebagai wujud penyelewengan atas tugas dan kewajiban wartawan yang telah berhasil mendapatkan informasi dari masyarakat juga. Informasi yang diperoleh dari tengah-tengah masyarakat mesti dikembalikan kepada masyarakat dalam kemasan berita jurnalistik.
Bukan sebagai objek untuk mendapatkan keuntungan pribadi, sehingga informasi tersebut akan bias dan malah tidak disirkan sama sekali. Jika ini yang dilakukan, berarti pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik.
Disinilah strategisnya peran jurnalisme. Sebagai profesi yang bekerja untuk kepentingan umum, seorang wartawan tidak dibenarkan mengambil manfaat dari informasi yang diperolehnya, meskipun atas perintah dari pihak perusahaan atau penerbitan tempatnya bekerja. Informasi yang diperoleh harus disiarkan utuh kepada masyarakat. Hak memperoleh informasi merupakan wujud hak asasi manusia yang dimiliki setiap warga negara Indoensia.
Namun, tidak jarang terjadi penyalahgunaan profesi khusunya pemanfaatan dan penyembunyian informasi oleh oknum wartawan dan oknum pengelola media yang berkonspirasi dengan wartawan. Padahal, penyalahgunaan demikian, bukan saja melanggar kode etik jurnalistik. Juga merupakan tindakan pelanggaran terhadap UU Pers No.40 Tahun 1999, khususnya Pasal 4 yang antara lain menyebut:
Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan menyiaran. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Pelanggaran terhadap pasal tersebut dikenakan penjaran 2 (dua) tahun atau denda Rp 500 juta. Artinya, penyalahgunaan informasi yang diatur kode etik jurnalistik tadi, bisa merujuk kepada undang-undang dengan sanksi pidana.
Tetapi, semenjak deregulasi industri pers menyusul era reformasi satu dekade terakhir, bukan berarti penyalahgunaan profesi kian menurun. Malah sebaliknya, ada kecenderungan penyalahgunaan profesi itu muncul sebagai tindakan kolaborasi antara wartawan dan pengelola dan pemilik media.
Jika menggunakan cara-cara kasar, tampaknya rentan dengan jerat hukum. Jika kasus pejabat akan diberitakan misalnya, khawatir terancam delik pidana pemerasan. Jadi, kini dipilih cara-cara yang lebih halus.
Contohnya, program kontrak halaman dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. Pihak pemerintah meminta pemilik media memuat kegiatan sucses story pembangunan dengan memakai uang rakyat dari APBD. Sementara semua penyelewengan dan penyimpangan yang dilakukan oknum pemerintah tidak disiarkan lagi di media tersebut.
Terjadi juga semacam diskriminasi. Jika seorang wartawan yang akan meminta konfirmasi dengan seorang oknum pejabat yang diduga melakukan penyelewengan, malah wartawan dari media yang telah melakukan kerjasama dengan instansi si Pejabat akan muncul sebagai back king.
Lantas, si Wartawan akan digiring kepada suatu kondisi seolah–olah dia tengah merencanakan pemerasan, saat meminta konfirmasi tersebut. Bila perlu diatur skenario agar terjebak pada tindakan pidana. Aneh memang. Padahal, kejahatan yang dilakukan mereka jauh lebih dahsyat.
Wajar pula jika berita–berita seputar kejahatan yang dilakukan oknum wartawan akan diberitakan besar–besar. Sedangkan masalah pengebirian hak–hak wartawan dan tindakan yang semata–mata kolusi penyembunyian informasi lewat kontrak halaman ini, tidak pernah digubris.
Nah, bagaimana jika Anda adalah seorang wartawan yang bekerja di media yang sudah mengikat kerjasama dengan pemerintah guna mengontrak halaman koran Anda dan semua isinya atas pesanan? Inilah pertanyaan yang mungkin sulit dijawab, saat ini. Dan ini sebuah penomena yang tengah kita tonton bersama.
Tetapi, tidak ada yang mampu melawan kebenaran. Untuk itu, tetap pertahankan integritas. Pandai bersikap di tengah gelombang buruk dunia pers kita, saat ini. Jika pandai menitih buih akan selamat sampai ke seberang. Intinya, jangan ikut dalam kelompok yang menyalahgunakan profesi. Apapun dalihnya.
11. Tak Semua Fakta,
Layak Diberitakan
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan. (KEJI, Pasal: 7)
Inti dari tugas jurnalistik itu, informasi. Informasi bagi jurnalis ibarat mesin bagi sebuah kendaraan. Sedangkan informasi, umumnya, berada pada genggaman sumber berita. Tanpa bantuan narasumber, wartawan akan kehilangan informasi. Betapa strategisnya kedudukan seorang narasumber dalam tugas jurnalistik.
Untuk itu pula, kode etik jurnalistik memberi pembahasan khusus tentang keberadaan narasumber ini. Utamanya perihal perlindungannya. Jangan sampai narasumber menjadi korban akibat berniat membantu tugas wartawan. Lebih parah lagi, jika pihak keluarganya kecipratan masalah akibat pembocoran info kepada wartawan. Padahal, semua “bocoran” yang diberikannya semata-mata untuk kepentingan pemberitaan.
Ada banyak tugas jurnalistik yang diawali info narasumber. Saat seorang wartawan mendatanginya untuk meminta bocoran itu, saat itu si pemegang informasi sudah bertindak sebagai narasumber. Jika info tersebut berisi tentang tindak penyelewengan, kejahatan atau penyimpangan yang dilakukan seseorang, posisi si Narasumber menjadi riskan.
Tentu saja, sebagai narasumber, ia tidak ingin, posisinya, keberadaannya atau malah keberadaan keluarganya ikut terancam, saat informasi itu diberitakan di media massa. Artinya, ia tidak ingin menjadi “korban” akibat membantu tugas wartawan.
Pemberitaan semua data dan informasi dari seorang narasumber yang tidak bersedia ditulis identitasnya disebut informasi latarbelakang. Sednagkan off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh diberitakan atau disiarkan.
Seorang wartawan harus menghargai ketentuan off the record. Jika seorang narasumber telah menyatakan dari awal, semua informasi yang diungkapkannya adalah off the record, yah wartawan tak boleh menyiarkannya.
Jika si Wartawan tetap ingin memberitakannya, carilah sumber lain atau gunakan hak investigasi dari sumber-sumber berkompeten agar informasi itu bisa diberitakan. Jadi, tidak semua fakta layak diberitakan.
Tetapi, harus pula diperhatikan, jangan sampai narasumber yang menyatakan off the record itu terancam akibat pemberitaan Anda. Sekalipun bukan dia sumber Anda dalam berita tersebut. Dalam acara jumpa pers misalnya. Jika sudah ada bocoran bahwa keterangan dalam jumpa pers itu akan off the record, sedangkan Anda berniat juga memberitakannya, bagaimana?
Satu-satunya jalan, tidak menghadiri jumpa pers tersebut. Cari sumber lain yang berkompeten. Telusuri lagi informasinya agar lebih akurat dan lengkap. Tetapi mesti dijaga, jangan sampai ada kesan Anda memeroleh informasi dari kalangan penyelenggara jumpa pers itu. Sebab, semua ini tata Kode Etik Jurnalistik Indonesia Pasal 7 ini, bertujuan semata-mata untuk melindungi narasumber, mengingat peran seorang narasumber demikian penting dalam tugas jurnalistik.
Tetapi, ada kalanya narasumber memenipulasi fakta. Pihak penyelenggara jumpa pers sering membeberkan informasi bohong ke sekelompok wartawan. Hal itu mereka lakukan karena, jika informasi sebenarnya disiarkan, posisi mereka dalam jabatan bisa terancam. Untuk itu, mereka menggelar jumpa pers agar informasi sebenarnya tidak terungkap. Jika ini yang terjadi, sebagai wartawan jujur, lebih baik tidak usah menghadiri jumpa pers itu.
Ketika pihak Polda Riau melaksanakan jumpa pers tahun 1991, tentang kematian seorang tahanan di Mapolsekta Tampan, Pekanbaru, saya tidak mau hadir. Soalnya, saya telah mendapat bocoran sebelumnya, bahwa pihak Polda akan menyebut tahanan itu tewas akibat bunuh diri. Padahal, informasi yang saya peroleh ia tewas dianiaya.
Saya kemudian melakukan investigasi ke sumber-sumber lain. Saya menulis beritanya di SKM Genta, bahwa tahanan itu tewas dianiaya polisi. Saya mendapatkan informasi dari banyak sumber yang memang meminta saya tidak menulis identitas mereka. Saya menghargai itu.
Untung saja, tiga tahun kemudian kasusnya kembali saya beritakan berdasarkan investigasi lebih lengkap dan dimuat di Majalah FORUM Keadilan. Ternyata seiring berjalannya waktu, kasus ini terus berkembang dan banyak pula narasumber yang dulunya takut identitasnya dirahasiakan, akhirnya berani berbicara lantang di media massa. Padahal, jika tiga tahun sebelumnya, saya membeberkan identitas mereka, mungkin masalahnya menjadi lain.
Untuk menghindari terjadinya kemungkinan seperti itulah, kode etik memberikan hak istimewa kepada wartawan untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia identitasnya dibeberkan. Hak untuk melindungi narasumber itu disebut hak tolak. Yakni, hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber dan keluarganya.
Sekalipun, pemberitaan itu kelak sampai ke meja pengadilan, toh hak wartawan untuk merahasiakan identitas narasumber itu tetap dijamin hukum. Jadi, tidak ada yang harus ditakutkan. Sebagaimana disebut pada Pasal 4 ayat 2 UU Pers No. 40 Tahun 1999:
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan memiliki hak tolak.
Ada kalanya, sumber berita bersedia mengungkapkan informasi sebuah kasus misalnya. Tetapi dia meminta, agar pemberitaannya ditunda dulu. Penundaan pemberitaan ini disebut embargo. Wartawan harus mematuhi ketentuan embargo ini.
Penundaan ini, juga semata-mata untuk menghindari kemungkinan terjadinya hal lebih buruk. Baik terhadap si Narasumber maupun terhadap pihak yang diberitakan. Saat polisi sedang memburu pelaku kejahatan misalnya. Polisi meminta jangan diberitakan dulu, karena bisa mempersulit penyidikan andai yang diburu melarikan diri dari persembunyiannya.
Pada kasus lain, si Narasumber meminta embargo pemberitaan, mengingat keselamatan si Narasumber itu sendiri. Katakanlah, saat seorang mahasiswa bersedia membeberkan informasi kejahatan yang terjadi di universitasnya, tetapi dia meminta agar hal itu diberitakan setelah dia menyelesaikani kuliahnya.
Wartawan harus menghargai permintaan itu. Sebab, jika langsung diberitakan, tanpa embargo, si Mahasiswa bisa terancam studinya.
12. Prasangka & Diskriminasi
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang berdasarkan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. (KEJI Pasal 8)
Wartawan menulis fakta. Untuk memperoleh fakta wartawan perlu bersikap skeptis yaitu sikap yang tidak langsung percaya dengan sebuah informasi. Informasi perlu ditelusuri lebih dulu, sebelum menuliskan beritanya.
Skeptis tidak identik dengan prasangka. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. Hal seperti ini tidak dibenarkan kode etik jurnalistik. Sebab, berita yang ditulis berdasarkan prasangka, bsia berakibat vatal karena prasangka tidak akan sesuai denga fakta sebenarnya.
Biasanya, berita prasangka lahir dari wartawan yang malas. Wartawan yang malas melakukan investigasi, malas melakukan reportase ke lokasi kejadian peristiwa atau wartawan yang memang sengaja menulis berdasarkan parsangka karena dia punya kepentingan atas berita prasangka itu.
Ada kalanya wartawan menulis berdasarkan prasangka, karena berniat membuat heboh berita yang dia tulis. Sebuah kasus besar yang pernah mencoreng peta jurnalisme Indonesia, saat Ir. Gusman, diberitakan tewas dijatuhkan dari pesawat heli kopter. Staf di PT Preefort itu, kemudian ditemukan mayatnya mengapung di kawasan rawa Kalimantan.
Untung saja, Bondan Winarno, seorang wartawan free-lance melakukan investiasi dengan tekun dan profesional mengungkap berita bohong itu.
Ia melakukan investigasi atas dasar kecurigaannya, mayat Gusman yang ditemukan, kok masih mengapung di rawa-rawa, sementara dia dijatuhkan dari pesawat helikopter dengan ketinggian yang tidak memungkinkan bagi seseorang mengapung lagi, tetapi pasti akan terbenam. Ternyata, skeptisnya terbukti. Gusman yang warga negara Pilifina itu masih hidup, sehat walafiat, hingga saat ini tinggal di Pilifina.
Berita yang ditulis berdasarkan prasangka, masih banyak menghiasi halaman media cetak di negeri kita, juga di Riau. Berita yang ditulis tanpa konfirmasi bisa digolongkan kepada berita prasangka. Berita yang data dan faktanya kurang lengkap bisa digolongkan kepada prasangka.
Untuk menghindari terjadinya prasangka, wartawan harus menulis berita berdasarkan fakta dan data yang lengkap. Untuk mendapatkan data dan fakta yang lengkap wartawan tidak mungkin memperolehnya hanya dari seorang narasumber. Berita kejahatan misalnya, tidak layak jika hanya menerima informasinya dari kepolisian.
Lengkapi datanya dari pihak keluarga korban, keluarga pelaku, pelaku sendiri, korbannya, saksi mata dan sebagainya. Agar tidak terjebak dalam berita prasangka.
Sedangkan diskriminasi ditafsirkan sebagai perbedaan perlakuan. Jangan mentang-mentang yang akan diberitakan adalah orang yang berasal dari suku minoritas, wartawan seenanknya memberitakannya, sehingga yang bersangkutan terkesan dipojokkan dan dirugikan. Diskrimiasi sama sekali tak dibenarkan.
Merendahkan martabat orang lain juga tidak dibenarkan. Baik saat memberitakan masalah suku, agama, orang lemah, sakit, cacat jiwa maupun cacat jasmani. Sebenarnya, wartawan bisa terjebak dalam pemberitaan diskriminasi ini akibat tindakan narasumber. Misalnya saat memberitakan otonomi daerah. Ada kecenderungan putra daerah memberi hak-hak istimewa kepada putra tempatan. Di sisi lain, putra pendatang dimarginalkan.
Wartawan tidak boleh menerima apa adanya dari sikap demikian. Wartawan harus bersikap nasionalis dan harus mencari narasumber yang berperan sebagai penyeimbang dalam berita. Jika tidak berhasil mendapatkan sumber sebagai penyeimbang, tidak usah ditulis. Tidak perlu diberitakan.
13. Hormati Hak Pribadi
Narasumber
Wartawan Indonesia, menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. (KEJI Pasal 9)
Lagi-lagi, berbicara tentang kedudukan seorang narasumber. Kehidupan pribadi seseorang, tampaknya punya posisi strategis dalam kode etik jurnalistik. Strategis berarti harus dihormati sepenuhnya oleh seorang wartawan.
Menghormati berarti bersikap menahan diri dan berhati-hati. Sedangkan yang dimaksud dengan kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya. Tuntutan kehati-hatian dan menahan diri bagi wartawan guna mempertimbangkan pemberitaan atas kehidupan pribadi narasumber, sangat penting agar tidak terjadi hal-hal berbau pencemaran nama baik yang bsia menjrus ke delik pidana pencemaran.
Diakui memang, jika sudah menyangkut kehidupan pribadi sering jadi dilematis. Di satu sisi, wartawan punya kepentingan dalam pemberitaan, di sisi lain, narasumber ingin kehidupan pribadinya tidak diusik. Untuk itulah kode etik membuat pengecualian. Jika sudah menyangkut kepentingan publik, boleh diberitakan.
Dalam praktiknya sehari-hari, hal-hal demikian sering dihadapkan kepada seorang wartawan. Masalahnya, informasi yang meyangkut seseorang, jarang pula yang tidak berkaitan dengan kehidupan pribadinya. Untuk itu, wartawan mesti bsia membuktikan bahwa kehidupan pribadi yang menyertai pemberitaan itu benar-benar untuk kepentingan publik.
Ada baiknya diajukan contoh tentang kasus korupsi yang dilakukan seorang pejabat. Mungkin, si Pejabat yang diduga melakukan korupsi itu, beritanya perlu dilengkapi dengan kehidupan pribadinya sepanjang kehidupan pribadi yang diberitakan itu ada kaitannya dengan kepentingan publik.
Jika hasil korupsi itu, ternyata sebagian digunakannya untuk membeli mobil mewah buat putrinya yang kuliah di sebuah peguruan tinggi, sedangkan itu didapatkan dari mengorup daa bea siswa yang seyogianya diperuntukkan bagi mahasiswa yang tidak mampu, ini tentu layak ditulis. Kiranya sikap demikian, merupakan kehidupan pribadi yang tidak manusiawi.
Menghormati kehidupan narasumber sangat penting. Namun, jika semata-mata ditujukan untuk kepentingan yang lebih luas, yakni kepentingan publik, tidak pernah ada salahnya untuk diberitakan. Namun, tentu saja, pemberitannya sesuai prosedur yang dituntut kode etik jurnalistik. Berhati-hati, penulisan mesti berimbang, tidak berittikad buruk. Dan, harus dilengkapi dengan konfirmasi.
14. Perbaiki Kesalahan
&
Segera Minta Maaf
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permhonan maaf kepada pembaca, pendengar dan pemirsa. (Pasal 10 KEJI)
Kita para wartawan mesti mengakui, bahwa kita masuk dalam golongan orang yang sulit mengakui kesalahan. Apalagi untuk mohon maaf. Padahal, kedua sikap itu merupakan sikap yang sangat terpuji. Untuk itu, harus dimiliki seorang wartawan yang baik.
Segera memperbaiki kesalahan dalam penulisan berita. Apakah berita itu, ternyata salah, keliru, tidak akurat dan sebagainya. Harus sesegera mungkin dilakukan oleh wartawan. Yang dimaksud dengan “segera” disini yakni secepat mungkin dilakukan baik karena teguran maupun tidak ditegur sama sekali oleh pihak luar.
Jelasnya, jika yang melakukan kesalahan adalah wartawan media harian, jika masih memungkinkan, ralat dan perbaikan itu segera dimuat keesokan harinya. Dan ingat! Harus disertai dengan kata permohonan maaf. Jika kesalahan itu dilakukan oleh wartawan media cetak harus disertai dengan kata permohonan maaf kepada pembaca. Jika di media radio harus disertai permohonan maaf kepada pendengar. Jika di media televisi harus disertai dengan permhonan maaf kepada pemirsa.
Seperti dijelaskan, wartawan mendapat informasi dari masyarakat kemudian dikembalikan dalam bentuk berita kepada masyarakat melalui media si Wartawan bekerja. Wajar jika ternyata terjadi kesalahan, yang berakibat merugikan seseorang atau pihak tertentu, segera diperbaiki. Memperbaiki saja tidak cukup. Sebagai bukti penghormatan kepada narasumber, permohonan maaf wajib dibuat jika menyangkut substansi pokok yang diberitakan.
Sebagai wartawan profesional dan memiliki integritas, kita tak perlu malu mengakui kesalahan dan jangan malu memohon maaf. Kecenderungan kesalahan selalu terjadi di dunia jurnalis, mengingat tugas-tugas yang berjejal dan kompetitif. Sedangkan wartawan adalah manusia biasa. Taati saja kode etik: segera perbaiki dan sertai permohonan maaf.
Bagaimana aturan mainnya, tentang hak jawab atau hak koreksi yang akan diajukan ke media? Kita bahas pada pasal terkahir kode etik jurnalistik.
15.Layani Hak Jawab
& Hak Koreksi
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proforsional (KEJI Pasal 11)
Wartawan jangan menang sendiri. Harus melayani hak jawab dan hak koreksi. Yang dimaksud dengan hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Sedangkan hak koreksi adalah hak seseorang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Proforsional berarti setara dengan berita yang akan diperbaiki.
Seorang wartawan harus bersikap dewasa saat menerima sanggahan atau pembetulan dari pihak lain. Utamanya menyangkut hak jawab seseorang atau sekelompok orang. Pemuatan hak jawab dan hak koreksi mesti proforsional.
Artinya, berita sanggahan atau bantahan tersebut harus sesuai dengan posisi dan proforsi berita yang disanggah. Di halaman mana, berita yang disanggah, disitu pula berita sanggahan dimuat. Sebanyak apa berita yang akan disanggah, maksimal sebanyak itu pula sanggahan dimuat.
Prosedurnya bisa dijelaskan sebagai berikut: Misalkan seorang oknum kepala sekolah diberitakan melakukan pungli (pungutan liar) terhadap 50-an siswa yang akan mengikuti ujian akhir. Kedok pungli, untuk uang ujian. Beritanya kemudian dimuat di media cetak. Ternyata, si Oknum Kepala Sekolah merasa keberatan dengan pemberitaan, karena merasa tidak melakukannya. Ia bisa menggunakan hak jawabnya.
Prosedurnya, bisa mendatangi langsung pemimpin redaksi media tersebut, dan menjelaskan kejadian sebenarnya. Kemudian dia meminta sanggahannya sesegera mungkin dimuat di tempat yang sama di koran yang sama, maksimal sebanyak proforsi berita yang disanggahnya. Pihak media wajib memuat sanggahan itu.
Atau melalui sanggahan tertulis dengan jelas atas dasar pemberitaan sesuai edisi, halaman media yang memuat berita itu. Surat sanggahan itu dikirimkan ke pemimpin redaksinya. Dan pemimpin redaksi media tersebut wajib memuat sanggahan itu. Tentu saja, sanggahan itu juga berupa fakta. Bukan mengada-ada.
Hak koreksi tidak menyangkut nama baik. Tetapi hanya merupakan kekeliruan informasi dalam pemberitaan. Bukan saja menyangkut tentang seseorang mengenai dirinya. Hak koreksi juga bisa dilakukan pihak lain. Asal sifatnya membetulkan kekeliruan.
Contohnya, seorang siswa merasa ada informasi yang salah tentang pemberitaan sekolahnya. Si Siswa bisa menelepon redaksi media atau menulis surat sanggahan atas kekeliruan itu disertai data atau informasi yang sebenarnya. Dan pihak media wajib memuat pembetulan itu.
Wartawan atau media yang mengabaikan hak jawab, bukan saja telah melakukan pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik. Tetapi, sekaligus melanggar UU Pers No.40 Tahun 1999 Pasal 5 yang mewajibkan pers melayani hak jawab dan wajib melayani hak koreksi. Sanksi atas pengabaian hak jawab ini dikenakan pidana denda Rp 500 juta (Pasal 18 Ayat 2 UU Pers)
Bagi pihak yang merasa dirugikan, hak jawab merupakan wahana yang disediakan pihak pers. Andai kata masih merasa belum puas dengan pemuatan hak jawab, dia kemudian bisa melapor ke Dewan Pers, di Jakarta. Bisa mendatangi langsung atau mengirimi surat disertai bukti-bukti kliping berita lengkap dengan tanggal dan edisinya. Sesuai fungsi dan wewenangnya, Dewan Pers akan memberi jalan keluar dan melakukan mediasi antara orang yang dirugikan dan pengelola media.
Dewan Pers, jika memungkinkan akan meminta pengelola pers memuat hak jawab dan permohonan maaf secara proforsional juga. Jika kemudian masih juga belum merasa puas, barulah ditempuh jalur hukum. Melapor ke polisi jika menyangkut pidana atau menggugat secara perdata ke pengadilan dalam hal ganti rugi.
Tentu wartawan tidak menginginkan hal demikian. Untuk itu, fahami dan taati kode etik. Kode etik merupakan tata aturan yang dibuat sendiri oleh wartawan. Wajar jika wartawan harus selalu menaatinya. Kode etik merupakan serangkaian tata etik menyangkut moral. Pelanggarannya hanya dilakukan wartawan amoral. Dan itu memalukan.
Yang pasti, penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik hanya merupakan hak dan kewenangan Dewan Pers. Sedangkan penjatuhan sanksi atas pelanggaran kode etik menjadi wewenang organisasi wartawan dan atau perusahaan pers tempat si Wartawan bekerja.
terimakasih pak,atas bagi bagi ilmunya,saya sony,punya pendidikan khusus 3 paket jurnalis,ingin bergabung boleh pak,mau memperdalam ilmu,saya punya sertifikatnya pak,tinggal dimedan sumut
BalasHapus