
Wahyudi El Panggabean dan Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara.
(Sebuah Pengantar Menulis Berita)
Oleh: Drs. Wahyudi El Panggabean
I. UMUM
Bahasa Jurnalistik, sebenarnya hanyalah istilah yang digunakan para pekerja jurnalistik (wartawan) saat menulis dan menyiarkan karya jurnalistik seperti tersaji di media massa. Baik di media cetak maupun di media elektronik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun, pengertian Bahasa Jurnalistik hanya dijelaskan sebagai padanan: Bahasa Pers. Pengetian ini, perlu dijelaskan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Sebab, jauh-jauh hari, Prof.Dr. Anton M. Moeliono, telah memberi batasan tegas tentang Bahasa Jurnalistik, merupakan ragam bahasa Indonesia yang baik dan benar saja.[1]
Meski demikian, Bahasa Jurnalistik bukan saja harus tunduk pada kaedah-kaedah Pedoman Umum (PU) Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) serta Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUPI). Juga harus taat pada Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TB3I). Artinya, Bahasa Jurnalistik bukanlah sekadar bahasa yang tujuannya hanya membuat pembaca, sebatas mengerti maksud sebuah tulisan atau berita yang tertera di media massa--yang dengan seenaknya saja-- menggunakan istilah.
Seperti yang terbaca di banyak media cetak saat ini, sering sekali, penggunaan bahasa tulisan tidak sesuai dengan standar EYD. Sehingga, media acap kali tidak berfungsi sebagai wahana pendidik. Malah sebaliknya, justru tampil sebagai sarana publik yang ikut merusak tatanan dan keindahan Bahasa Indonesia. Hal ini, sebenarnya bisa dipahami sebagai salah satu kelangkaan tenaga-tenaga berkualitas, khususnya redaktur bahasa.
Untuk itu pula, mempelajari Bahasa Jurnalistik di tingkat Perguruan Tinggi, dan pelatihan-pelatihan jurnalistik begitu penting. Dengan belajar Bahasa Jurnalistik, diharapkan mahasiswa tidak hanya mengerti dan memahaminya. Lebih dari itu, juga mampu menggunakannya dalam setiap karya jurnalistik serta menerapkannya kelak, jika sudah menjadi wartawan.
II. Kenali Sebelum Belajar
Satu hal yang harus diingat, belajar Bahasa Jurnalistik, harus diawali dengan belajar menulis karya jurnalistik. Sebab, Bahasa Jurnalistik hanyalah bahasa yang digunakan kalangan jurnalis dalam setiap karya jurnalistik yang mereka hasilkan. Artinya, mustahil rasanya, seseorang bisa memahami Bahasa Jurnalistik, tanpa lebih dulu berlatih menuliskan karya-karya jurnalistik, seperti menulis berita.
Sebagai langkah awal, perlu dijelaskan Bahasa Jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu: singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik.[2] Dr. Yus Badudu malah menyebut, sifat-sifat khas itu harus dimiliki media massa, mengingat pembacanya berasal dari semua lapisan masyarakat yang tidak memiliki banyak waktu untuk membaca. Selain itu, Bahasa Jurnalistik juga harus menggunakan bahasa baku, yaitu : bahasa yang digunakan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar wibawanya.
Dari dua pokok pikiran di atas, bisa dimengerti, bahwa bahasa yang tertera dan digunakan kalangan media massa, sesungguhnya tidak selamanya memenuhi standar Bahasa Jurnalistik. Karena, masih sangat sering kita membaca media massa yang terindikasi melanggar kaedah-kaedah EYD dan tidak menggunakan bahasa baku dalam berita-berita yang mereka sajikan. Padahal, hal ini sangat memengaruhi kredibilitas media dan si Wartawan penulis berita itu.[3]
Di era menjamurnya penerbitan media massa sekarang--menyusul deregulasi industri pers sejak era reformasi--kualitas sarana informasi ini, menjadi persoalan pelik. Sementara, mesti diakui pula, faktor bahasa sangat memengaruhi kualitas sebuah media. Sebab, tanpa bahasa yang baik dan benar, tak mungkin pesan sebuah berita, bisa sempurna sampai kepada pembaca. Begitu pentingnya makna penggunaan Bahasa Jurnalistik bagi sebuah media. Tentu, lebih peting lagi belajar menggunakan bahasa jurnalistik serta berlatih menulis karya-karya jurnalistik yang menjauhkan kita dari prasangka.[4]
Prasangka, bisa lahir dari bahasa yang tidak jelas dan tidak komunikatif. Hal ini, bisa sangat membahayakan. Sebagaimana Allah swt mengingatkan dalam Quran:
“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, teliti kebenarannya, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah pada suatu kaum, tanpa mengetahui keadaannya. (Al Hujuraat: 6)
III. Prinsip-Prinsip Menulis Berita.
Seperti dijelaskan, belajar bahasa jurnalistik, sebaiknya diawali dengan belajar menulis berita jurnalistik. Untuk itu, ada baiknya dipelajari dulu prinsip-prinsip menulis berita:
Kesatu, Menulislah jika merasa terpanggil untuk menulis. Jangan pernah menulis sesuatu jika semata-mata mengharapkan uang. Imbalan dan kekayaan. Jika itu yang Anda diharapkan, saya khawatir, Anda malah akan kecewa. Karena, di negeri bernama Indonesia, belum sepadan antara karya tulis dengan honor yang dijanjikan.
Kedua, menulislah berdasarkan prinsip-prinsip umum dan tata aturan baku yang telah ada. Banyak teori tentang menulis berita; yang pada prinsipnya mengacu kepada 5 + 1 H. Dan kita akan diperkenalkan kepada lead, teras berita, tubuh berita, ekor berita; dan sebagainya.[5] Yang dimaksud 5 W + 1 H ini merupkan singkatan dari: what, who, where, when, why dan haw (apa, siapa, dimana, kenapa, mengapa dan bagaimana).
Keenam kata ini, merupakan unsur dasar yang mesti dipenuhi sebuah berita jurnalistik. Unsur ini seklaigus menjadi pedoman untuk menguji kelayakan sebuah berita, jika memulai menulis berita-berita jurnalistik. Agar lebih mudah mengingat dan menerapkannya, sebaiknya disingkat saja dengan ASIDIKEMBANG.[6]
Ketiga, jangan pernah puas dengan situasi yang ada sekarang. Berjuanglah agar lebih maju. Jika memang ingin menjadi pekerja jurnalistik harus berhasil bekerja di media profesional dan memiliki integritas. Ini memang sulit dan butuh proses panjang. Tetapi, jika berusaha maksimal, itu bukan sesuatu yang mustahil. Kesulitan dan kegetiran, akan melahirkan pemburu informasi yang tangguh.
Keempat, cobalah untuk tidak berkompetisi. Karena, kompetisi itu tetap saja akan melahirkan dua hal: yang menang; dan yang kalah. Kompetisi tidak akan mengantar seorang wartawan ke jenjang profesionalisme. Justru kreativitaslah yang harus terus menerus diasah dan tanpa bosan-bosannya digugah. Karena kreativitas itulah yang akan melahirkan pemburu informasi sejati.
Kelima, ini perlu dicamkan. Sukses seseorang dibangun dari akumulasi kesuksesan setiap hari. Jika suatu hari misalnya, kita bekerja serius dalam profesi kita, berarti kita akan sukses dalam satu hari itu. Jika kondisi demikian bisaa dipertahankan selama setahun saja, kesuksesan sesungguhnya, bakal diraih.[7]
IV. Latihan Menulis Berita.
Secara etimologi, berita berasal dari kata “vrit” (Sansekerta) dan dalam Bahasa Inggris disebut “write” yang meiliki arti dasar: terjadi. Kata “vrit” dalam bahasa Sansekerta berasimilasi menjadi kata “vritta” yang artinya kejadian. Kemudian dalam bahasa Indonesia berubah menjadi berita.[8]
Hingga saat ini banyak defenisi tentang berita. Jaafar Assegaf, merumuskan defenisi berita sbb:
Berita merupakan laporan tentang fakta atau idee yang termasa; dan dipilih oleh staf redkas isuatu media untuk disiarkan; karena penting atau akibatnya; karena mencakup segi-segi human interest seperti humor, emosi dan ketegangan.
Terlepas dari itu, sebagus apapun peristiwa, jika belum ditulis dan dimuat di media massa, belum bisa disebut sebagai berita. Menulis berita merupakan tugas jurnalistik seorang wartawan yang telah memperoleh informasi dari narasumber atau langsung menyaksikan peristiwa. Menulis berita memiliki aturan dan tata cara tersendiri. Dengan aturan yang dibakukan, akan lebih mudah menuliskannya dalam bentuk berita. Sehingga, pembaca bisa lebih mudah membaca dan memahaminya.
Sistem piramida terbalik misalnya. Sistem ini dijadikan sebagai standar penulisan berita dengan cara mendulukan informasi terpenting, sesuai dengan gambar di bawah ini:
JUDUL BERITA
TERAS BERITA/LEAD
(Unsur 5 W+1H)
TUBUH BERITA
(unsur pokok, 5 W+1H)
INFORMASI 1
INFORMASI 2 EKOR BERITA /PUNCH
INFORMASI 3
Selanjutnya, mencoba latihan menulis berita. Anggap Anda telah menerima sebuah peristiwa tentangs ebuah kejadian. Untuk menuliskannya perlu diperhatikan ha-hal sbb:
1. Menulis Judul Berita:
Singkat, padat dan mudah dimengerti. Kalau bisa jangan lebih 7 kata. Dengan membaca judul berita saja, pembaca sudah mengerti makna berita dan juga terpancing untuk membaca beritanya. Contoh:
Seorang Bocah Ditabrak Truk
2. Menulis lead/teras Berita:
Jangan lebih 45 kata dan sudah menggambarkan unsur terpenting dari 5 W + 1 H. Andai tidak semua unsur ini terpenuhi, bisa dilengkapi dalam tubuh berita. Contoh :
Wardi (7) murid kelas 2 SD Negeri 01 Pekanbaru, tewas ditabrak Truk Fuso saat menyeberang Jalan Hangtuah, Pekanbaru, sekitar pukul 7.00 WIB kemarin (2/5).
3. Menulis Tubuh Berita.
Kelengkapan informasi dan kronologis peristiwa dijelaskan dalam tubuh berita. Biasanya menyita 2 hingga 4 alinea.
4. Menulis Ekor Berita.
Informasi tambahan termasuk konfirmasi pihak kepolisian, biasnaya dimuat dalam ekor berita. Ekor berita biasanya hanya terdiri dari 1 hingga 2 alinea saja.
Inilah sekilas gambaran umum menulis berita, sebagai langkah awal untuk mempelajari bahasa jurnalistik. Hanya latihan kontiniu dan belajar tekun, yang menjamin Anda sampai pada tahap: mahir menulis berita jurnalistik.
[1] Martin Moentadhim, Jurnalistik Tujuh Menit, Jalan Pintas Menjadi Wartawan dan Penulis Lepas, 2004, Hlm.
[2] Rosihan Anwar, Bahasa Jurnalistik Indonesia & Komposisi, 2004. Hlm.3
[3] Ana Nadhya Abrar, Mengurai Permasalahan Jurnalisme, 1995, mengatakan: sesungguhnya kredibilitas wartawan ditentukan ditentukan oleh berita yang disajikannya. Hanya lewat berita tersebut, pembaca bisa menilai kredibilitas si Wartawan. Pembaca tidak langsung menilai kredibilitas si Wartawan setelah pembaca satu berita, tetapi dari sekumpulan berita. Lebih dari itu, sering kali untuk menentukan kredibilitas ini, pembaca membandingkan berita yangs atu dengan berita lainnya. Hlm.56
[4] Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Dakwah, 2003, Hlm.31
[5] Wahyudi El Panggabean, Strategi Berburu Informasi, Menghindari Kekerasan, 2006, Hlm.172
[6] Wahyudi El Panggabean, Srtategi Wartawan Meraih Integritas, Memiliki Profesionalisme, 2007,Hlm.70
[7] Prinsip ini dipopulerkan Wallace The Watles, seorang pemikir Amerika seperti dimuat dalam bukunya: Ilmu Mnejadi Kaya. Watles, menganjurkan agar setiap manusia yang ingin meraih kesuksesan apapun dalam hidupnya untuk tidak berkompetisi. Tetapi, harus kreatif dan mencipta. Menurut pemikirannya, setiap orang, siapa saja, apapun pekerjaannya, bisa meriah kesuksesan asalkan full dan serius menekuni pekerjaan itu. Tentu saja, tidak terkecuali seorang wartawan. Buku Watles ditulisnya seratus tahun silam dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia tahun 2005.Hlm.35
[8] Totok Juroto, Manajemen Penerbitan Pers, 2000, hlm.6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar